MGtbNGJ8Mqt9NaZ4MqN9MGRbMDcsynIkynwbzD1c

Rindu dari Rafah

BLANTERLANDINGv101
5821456843096345225

Rindu dari Rafah

Selasa, 22 November 2022

Haidar Ali masih terdiam dalam lamunan bayang-bayang senja di bawah pohon kurma. Jingga di Gaza menyeruak haru. Rumah-rumah roboh. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru. Jalanan dan pemukiman pekak oleh desing tembakan, debam mortar dan deru mesiu. Bumi Anbiya kini semakin gersang dan mencekam. 

Arcmed Al Mashtal di hadapannya pecah, kropos, rapuh bagai debu. Padahal ia pernah singgah di hotel bintang lima itu menikmati kamar mewah yang dihiasi lampu berornamen, televisi layar datar dan tempat tidur besar dengan pemandangan Laut Mediterania. Meski begitu, Padico tidak merasa rugi. Pemilik hotel itu seorang dermawan yang bertekad memberi harapan kemajuan di Palestina. Haidar Ali telah lama menuliskan kisah itu. Kisah tujuh tahun yang lalu ketika ia melawat ke wilayah blokade demi sepucuk berita seputar ekonomi. Tujuh tahun yang lalu. Tetapi bayangan Rafah- kota yang ia lalui sebelum menuju Gaza- tidak pernah hilang dari ingatannya.

Tentang bulldozer, tank dan menara-menara snipper yang bertengger di antara puing-puing pemukiman di selatan Palestina. Juga tembok baja raksasa yang dibangun di reruntuhan dekat perbatasan Mesir. Tentu saja saat itu Haidar Ali was-was. Tapi perasaannya terbantahkan dengan alasan kuat ia telah mendapatkan hak perlindungan selama menjalankan tugas kejurnalistikan. Namun, manusia waras mana yang tidak tergerak hatinya jika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri wajah-wajah korban penindasan itu lusuh menjalani hidup serba kekurangan, menderita dan menunggu giliran direnggut maut?

Di Rafah, para aktivis kemanusiaan harus mengelilingi para pekerja sumur dari moncong panjang snipper militer Israel yang berada di menara benteng demi setetes air untuk membasahi tenggorokan pengungsi Palestina. Hanya itu satu-satunya cara setelah tentara zionis meluluhlantakkan pemukiman dan menimbun sumur dengan puing-puing. Jangan ditanya bisakah Haidar Ali terlelap di Arcmed Al Mashtal yang masih berdiri saat itu? Meskipun jaraknya masih puluhan kilometer, tapi debam-debam ledakan serta jerit ketakutan penduduk samar terdengar. Samar, hanya samar, tapi nyaris tak berjeda. Suara peluru-peluru yang dimuntahkan itu nyata. Nyata dirasakan lelaki kurus bergaya nyentrik itu.  

Ia jadi tahu bagaimana jiwa-jiwa aktivis di pengungsian Rafah begitu gigih menyuarakan kemanusiaan. Para aktivis itu memang bukan narasumber utamanya selama bertugas di Palestina. Tapi bukan Haidar Ali namanya, jika ia tidak haus akan informasi menggelitik. Selama bertahun-tahun mengabdi sebagai jurnalis, hampir setiap tahun ia menyabet gelar the best of journalism. Ia tercatat sebagai jurnalis berbakat dalam menuliskan duduk perkara sebuah masalah. Lewat goresan pena ia mengungkapkan kejadian di depan mata menjadi sebuah lirik nyata. Semua orang yang membaca narasinya pasti terkesima dengan gaya penyampaian dan alurnya yang runtut. Tulisannya lugas dan tajam seolah tidak ada hal yang diada-adakan. Haidar Ali ingin mengabadikan sepak terjang pejuang Rafah ke dalam bait kata agar bisa mencerahkan seantero jagat.

Mereka yang menuntut kebebasan Palestina harus diapresiasi, tegasnya dalam hati. Sukarelawan dari berbagai negara itu yakin bangsa Palestina berhak merdeka berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB. Mereka sedang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina tanpa kekerasan. Haidar Ali terheran-heran atas keberanian mereka. Meskipun sebagiannya tidak seakidah dengan mayoritas bangsa Palestina, mereka bersedia menjadi tameng, melambai-lambaikan tangan tatkala bulldozer itu meraung-raung meminta tumbal. Mereka mengedepankan jalan damai, berunding, bernegosiasi bahkan rela mempelajari bahasa Yahudi agar teriakan megafonnya dipahami operator tank-tank zionis.

Sesungguhnya Haidar Ali tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti. Sejak lawatannya, mata hatinya begitu dalam melihat derita Palestina. Mengapa rakyat Palestina terus berseliweran di kepalanya? Dalam benaknya, anak-anak Rafah selalu mencoba meraih tangannya, tapi jurnalis itu berusaha tidak menggapi. Lelaki itu mencoba membuang muka. Lantas orang tua-orang tua yang merangkul anak-anak mereka semakin menjauh sambil berteriak memanggil namanya. Mengulurkan tangannya seakan mencoba mengajaknya.

”Ali, rengkuh kedua tangan kami, Nak!” 

”Tidak Pak, saya ingin tetap disini. Saya masih ingin hidup damai bersama orang-orang yang saya sayangi!” suaranya lirih seperti tidak tega menyuruh mereka pergi. 

Bayangan itu pun menghilang. Namun kini, tiba-tiba menjelma menjadi sosok pemuda-pemudi Rafah yang bersemangat. Rupanya mereka ingin menggandengnya juga. Tapi mereka diam tidak bereaksi. Raut wajah mereka teduh. Wajah yang begitu dalam menatap Haidar Ali. Ada rona semangat jihad yang dipancarkan. 

”Jangan menatapku seperti itu, aku hanya pemuda biasa. Aku bukan pahlawan seperti kalian. Aku tidak punya nyali setangguh kalian ketika menghadapi bulldozer,” keluhnya. 

”Kak Ali, orang yang baik. Kami ingin Kak Ali membantu kami. Kembalilah ke tanah Anbiya! Ambilah kesempatan berjuang mendapatkan surga, bersama kami, bersama orang tua dan saudara-saudara kami! Tolong bantulah kami,” ujar seorang remaja kemudian.

Bayangan mereka tak henti berkelebat. Suara mereka terus menggema. Lantas Haidar Ali menoleh lagi ke belakang. Teman-teman sekantornya memanggilnya.

”Ayo, Al, tugasmu di sini belum selesai!” Tangan-tangan teman sekantor menjamahnya. Mengajaknya menikmati hari-hari menjadi jurnalis seperti biasa. Tapi di sisi lain, orang tua, remaja-remaja serta anak-anak Rafah mencoba meraih dan mengajaknya juga. Haidar Ali bingung. Mereka terus saja bersahutan. Membuat otaknya semakin berdengung. Kepalanya pusing. Sebegitu kedua tangannya menutup rapat-rapat, gendang telinganya tetap terasa pecah. Matanya memejam ketakutan.

Al-begitu teman-teman sekantor memanggilnya- tidak bisa melupakan Rafah. Ia berharap atasannya memindahkan posisinya di rubrik internasional. Ia bersedia jika ditugaskan di Gaza dan mengupdate informasi dari bumi para nabi. Meskipun 1-2 tahun harus menetap di sana. Meskipun ia harus digaji murah. Namun, segala bujuk rayu Al ditolak. Konflik Gaza semakin memanas untuk kesekian kalinya. Media tempat Al bekerja tidak ingin menaggung resiko terlalu dalam. Nelangsa nian Haidar Ali. 

Lelaki itu sudah berusaha menampik panggilan hatinya, tapi gemuruh dadanya masih terpaku pada anak-anak Rafah. Seperti sebuah sinyal cinta. Cinta hakiki dari Tuhannya. Ia lantas tidak memedulikan atasannya. Hampir setiap waktu ia mencari informasi perihal konflik Palestina. Mencoba mempelajari detail permasalahan dua negara yang berselisih itu dari tumpukan literatur yang ada. Meskipun harus alih bahasa. Meskipun harus mengurangi waktu tidurnya.

Memorinya tentang bocah-bocah Palestina yang memantapkan kedewasaannya semakin berdengung di kepalanya. Tentang gadis kecil yang memukulkan sebilah kayu sebesar ranting pohon zaitun ke atas kepala saat ia temui di Rafah. Gadis putih berhidung mancung yang melompat-lompat menghentakkan kakinya di antara butiran debu. Mulutnya yang mungil berceloteh sendiri. Wajah khas timur tengahnya memerah dan rambut ikalnya kerap digaruk-garuk meski tidak gatal. Apa gerangan yang dilakukannya? Haidar Ali mendekatinya untuk mengurai kepenasaran.

“Ada yang bisa Kakak bantu, Dik?” tanya Haidar Ali gugup khawatir bocah itu tidak mengerti bahasa Inggris. Gadis kecil itu tersenyum sembari memberikan kayu miliknya.

“Kayu?” 

Haidar Ali semakin penasaran. Gadis itu dengan polos menggaruk kepalanya sambil meminta Haidar Ali memukulkan kayu ke atasnya.

“Mengapa?” 

“Tolong, pukul aku…,” jawab bocah itu terbata-bata berbahasa Inggris bercampur Arab. “Ayo pukul….”

Haidar Ali tetap tidak mengerti mengapa bocah itu memintanya memukulkan kayu ke atas kepalanya. Maka ia pun menyetujuinya dengan pukulan ringan. Haidar Ali melakukannya berulang sampai bocah itu berhenti mengatakan, pukul lagi-pukul lagi.

“Kenapa aku tak mampu mengingatnya?” kesal si gadis cilik.

Segera Haidar Ali merendahkan tubuhnya agar dapat sejajar menatap matanya. Ia berusaha menyimak apa yang diucapkan gadis manis itu, sebenarnya apa yang ingin diingatnya? 

“Wa lain qutiltum fii sabiilillaahi au muttum lamaghfiratumminallaahi wa rahmatun khoirummimmaa yajma’uun…”  

Haidar Ali dibuat merinding setelah mendengarkan lafal ayat yang tegas dan indah keluar dari mulut gadis cilik itu. Mutiara hati. Rupanya ia sedang menghafalkan Alquran. Pukulan kayu di kepalanya adalah hukuman bagi dirinya yang terlupa atas potongan ayat. 

“Surah Ali Imran, Holy Quran,” pungkas bocah itu ramah lalu ia melambaikan tangan. “Ma’asalamah.”

Ketakjuban lelaki 27 tahun itu kepada anak-anak tangguh yang bertahan di situasi gawat di sana semakin menyimpul kerinduan dalam dada. Di Rafah. Di kawasan pertikaian. Di tanah yang tercerabut kebebasannya. Di bawah langit yang tidak menemukan indahnya kepakan sayap burung Flamingo. Di bawah tipuan terik matahari. Di kelam bayang-bayang gemerlap bintang. Ah, dimana keadilan untuk mereka? Kapan mereka menemukan kedamaiannya? 

Sekali lagi, celoteh anak-anak Palestina terus berdengung di telinga lelaki berkaca mata bulat itu. Bayangan mereka terus berkelebat. Anak-anak dengan luka berdarah di pelipisnya. Berjajar memadati pintu gerbang pembatas negara. Merintih dan lapar di tengah malam gelap yang menyisakan dingin. Tujuh tahun lalu, tenggorokan Haidar Ali bagai tersedak gumpalan kesendirian. Perlahan ia pergi, undur diri tanpa menitipkan sekaleng makanan bagi mereka yang kelaparan, tanpa sejumlah dolar untuk pengobatan. Hanya memandang. Lelaki berkuncir ekor kuda itu hanya memandang dari kejauhan. Tujuh tahun lalu, menyisakan rasa bersalah dalam kalbunya.

Jundi-jundi kecil itulah yang memantik Haidar Ali datang kembali ke bumi para nabi. Setelah kepalanya terngiang-ngiang. Ya, setelah tujuh tahun lawatannya. Seorang relawan pribumi akhirnya siap menyisihkan secercah kebahagiaan bagi korban penjajahan di tanah Gaza. Seorang pemuda biasa yang rela melepas karier gemilang jurnalistiknya. Demi apa? 

Demi Zat Yang Mahaindah dan manusia terpilih dengan kesempurnaan adab yang ingin mempersatukan suku-suku Arab pada masa kekaisaran Bizantium. Haidar Ali terpanggil untuk turut merasakan perjuangan para anbiya menegakkan kalimatullah. Jangan ditanya bagaimana perjuangan lelaki asia itu sampai di Gaza. Berlapis pengetahuan konflik Israel-Palestina dan bahasa Arab terus dipelajarinya. Bahkan ia ditatar puluhan pertanyaan oleh abahnya perihal kesiapan mental sehingga abahnya setuju.

“Jika kepergianmu semakin mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Abah rela melepasmu.” Kalimat Abah menancap kuat diingatan Haidar Ali.

Orang tua Haidar Ali bukan kiai. Bukan pemilik pesantren. Ia buruh tani biasa. Namun, pikirannya gemilang. Ia mengatakan bahwa semua yang ada di bumi adalah milik Allah. Pada masanya, Allah akan mengambilnya kembali. Tugas manusia hanya beribadah kepada-Nya. Semua hal harus diniatkan ibadah. Jihad fi sabilillah ibadah, bekerja ibadah, bahkan tidur pun ibadah. Abah berpikir cemerlang tanpa ambisi. Wajahnya yang tirus selalu tampak berseri. Padahal guratan tua tergambar di kening dan sisi tubuhnya yang mengurus. Tapi tetap saja aura kesalihan abah terpancar. Abah begitu bijaksana. Haidar Ali takzim kepada sosok rendah hati yang telah mengantarnya menjadi lelaki sukses seperti saat ini. 

Maka, tatkala abah memberi petuah kepada anak semata wayangnya sebelum keberangkatannya ke Gaza, abah menggebu agar Haidar Ali berjuang sampai titik darah penghabisan. Kalau perlu, Haidar Ali jangan mati sebelum ia melakukan banyak hal untuk membantu saudara-saudara muslim di Palestina. Meski tidak ada yang menjamin apakah ia akan selamat dari misil-misil yang melambung atau peluru-peluru yang ditembakkan bebas oleh tentara-tentara zionis laknatullah.

Abah kemudian mengingatkan satu kisah tentang pejuang Gerakan Pemuda (GP) Anshor tahun 1965 yang gigih melindungi kiai karena akan dibunuh tokoh PKI.  Mengetahui ancaman itu, darah muda pejuang GP Anshor yang tidak lain abah Haidar Ali mendidih. Ia telah bersiap menajamkan pedangnya untuk menghabisi PKI dan antek-anteknya. Pedang yang tajam. Sangat tajam. Pohon kelapa sekali tebas pun langsung terputus. Abah menarik nafas panjang sebelum melanjutkan cerita. Sorot matanya nanar. Menatap ke langit-langit, seolah dirinya mengumpulkan cerita kelam masa lalu. Dengan bahasa Jawa yang fasih, abah mengalirkan sejumlah kisah yang membuatnya merinding.

Ia mengatakan bahwa tokoh PKI terlalu melecehkan Islam. Bahkan perihal nama anjing mereka saja menggunakan bahasa Arab yang dicuplik dari potongan surat Al Fatihah. Ketegangan di antara umat Islam dengan PKI saat itu karena situasi dan keadaan yang dipaksakan. PKI sangat biadab. Pembunuhan kepada para kiai tak terelakkan. Tentu saja peristiwa itu masih serangkaian utuh dengan kasus berdarah di Madiun dan kota lainnya. 

“PKI menjadi bagian suram sejarah bangsa yang tidak boleh dilupakan. Begitu juga sejarah kiblat umat muslim pertama yang berada di kompleks Haikal Sulaiman. Telah tercatat di surat Al Isra tentang adanya Baitul Maqdis sebagai persinggahan Nabi sebelum naik ke Sidrat al-Muntaha. Sampai di ujung pesan Rasul meminta agar manusia menjaga Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Khususnya kompleks Haikal Sulaiman. Kompleks yang juga dianggap sebagai tanah terjanji dari Tuhan bagi Bani Isroil. Dan menjadi tempat penjamuan terakhir Yesus sebelum akhirnya di salib di bukit Golgota,” pungkas Abah di suatu malam sebelum akhirnya deru angin menyiarkan kabar dari belahan Jawa; bahwa abah telah wafat sementara Haidar Ali sedang berada di tanah terberkahi. 

Desir angin panas membahanakan deru rudal-rudal di daratan gersang. “Bisakah kau dengar itu? Bisakah kau dengar itu?” ujar seorang aktivis kepada Haidar Ali.

 “Abun! Ummun! Allah menyambutmu,” teriakan histeris bocah-bocah sedu sedan bercampur kebahagiaan menjadi hal yang biasa.“ Wallahi, bagimu surga!”

 Seketika aroma tubuh para nabi lekat di ujung hidung Haidar Ali. Ia merasa berada di satu medan pertempuran bersama Rasulullah. Sang Junjungan Terpuji menunggangi kuda Palomo melawan tentara zionis dengan pedang Zulfikar bermata dua. Tatkala tentara itu berhasil dipukul mundur, Rasul turun dari kudanya menyaksikan tubuh manusia bergelimpangan di padang tandus. Tubuh-tubuh itu terluka. Tubuh yang berdarah. Begitu menyayat ketika Baginda Teragung mendapati tubuh sahabat terkasihnya terkapar meregang nyawa. Pun bagi Haidar Ali, begitu perih ia menyaksikan tubuh-tubuh bersimbah darah yang sebagiannya orang tua, perempuan dan anak-anak.  

Lelaki itu masih terdiam dalam lamunan bayang-bayang senja di bawah pohon kurma. Jingga di Gaza meyeruak haru. Rumah-rumah roboh. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru. Jalanan dan pemukiman pekak oleh desing tembakan, debam mortar dan deru mesiu. Bumi Anbiya kini semakin gersang dan mencekam. Segersang hatinya kehilangan orang-orang tersayang. 

Cukuplah Allah sebagai pelipur.

Abah telah rida kepada Haidar Ali. 

Allah pun rida kepada Abah. 

Sebagaimana Allah rida kepadaku dan kepada para syuhada.[]


Tyas W adalah Penggiat FLP (Forum Lingkar Pena) Sidoarjo. Telah menulis 5 buku solo dan belasan buku antologi. 



BLANTERLANDINGv101

Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang