Masker dan Hati yang Jelek
Oleh: Nurina Ardiyanti
Awal mula percakapan ini tentang masker yang harus dipakai saat masa pandemi.Lalu aku mulai berceletuk, "Jadi gini Bunda, dulu ada teman yang suka ngeledekin tiap Nuna pakai masker saat berkendara ke mana pun itu meskipun jaraknya dekat."
Bunda ber"ooh" menanggapi.
Semakin menggebu, "Ngapain sih pakai masker? Coba deh kapan-kapan pas keluar ga pakai masker. Ya sudah, Nuna coba ga pakai masker. Alhasil, sepulang kegiatan langsung demam."
Bunda ber"ooh" lagi.
"Sekarang rasain ya Bun, kena pandemi akhirnya semua diwajibkan pakai masker."
Dengan puas, lega dan bangga aku mengakhiri percakapan ini.
"Lho kan, jelek hatinya," seloroh bunda menanggapi.
Dalam hatiku berkata, Apa? Jelek? Bagian mananya yang jelek?
Akhirnya kuutarakan pertanyaan, "Lha kenapa Bun?"
"Lha iya, berarti Nduk belum ikhlas dong nerima perlakuan itu."
DEG. Jadi malu sendiri. Belum ikhlas ternyata diri ini.
Seiring waktu saat mulai mengikuti kajian Ustad Nuzul, aku mulai memahami. Bahwa ternyata aku belum bisa bertawakal saat itu.
Diperlakukan demikian ternyata membuatku sakit hati. Dan saat mereka akhirnya mendapatkan balasan yang sama, aku malah merasa lega. Dengan artian seolah impas sudah.
Tawakal, yang berarti berserah diri pada-Nya.
Menerima semua keadaan dengan ikhlas dan lapang dada, artinya kita menyadari sekaligus percaya bahwa semua yang sudah Allah perkenankan terjadi maka itulah yang terbaik. Bukan karena salah lingkungan, atau bahkan salah temanku yang mengolok. Namun, hatiku belum ikhlas menerima takdir-Nya.
Jadi makin malu. Bunda yang nggak mengikuti ceramah Ustad Nuzul waktu itu, bisa menegurku dengan bijak. Masya Allah Bunda~
Tulisan ini nampol banget huhu
BalasHapus