Dua Tahun Anniversary
Oleh: Mujisetyo Lail Li Hidayatulloh/Hida Aiyra
Dua tanda
checklist terlihat. Pesan Whatsapp yang kukirim padanya sudah terbaca
setelah menunggu 35 menit.
Sebentar lagi Sayang, aku masih di jalan.
Seulas
senyum tersungging di bibirku kemudian. Pesan tadi dari gadisku. Aku mencintainya,
bahkan sangat mencintainya. Malam ini tepat dua tahun aku mengencaninya. Besar tekatku
untuk segera menjadikannya milikku secara sah, baik secara agama maupun negara.
Aroma
parfum vanilla rose menyeruak memenuhi
indra penciumanku. Sudah tidak asing, ini parfum gadisku. Dia sudah duduk di hadapanku.
Dress merah selutut dengan heels lancip warna senada. Ah, jangan lupakan
gincunya yang merah merona dan aku sangat menyukai itu.
"Maaf
membuatmu menunggu terlalu lama. Tadi masih ada pelanggan yang harus kulayani,"
ujarnya tulus. Bercampur sedikit rasa bersalah yang bisa kulihat dari sinar matanya.
"Tidak
masalah, Rere. Lagi pula, menunggu seorang yang cantik jelita sepertimu bukan masalah
yang besar bagiku. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menjumpaiku,"
bahkan aku tidak bisa memutus kontak mata dengannya sejak pertama dia memasuki kafe.
Senyum
Rere mengembang. Kurasa dia selalu seperti itu. Tersenyum saat aku mengatainya "cantik".
Senyum yang juga penyebab mengapa aku tidak bisa memutus pandanganku.
"Apapun
untukmu, Sayang," begitulah Rere. Dia selalu memanggilku dengan panggilan "Sayang"
meski aku jarang melakukan hal serupa. Sudah, jangan tanya lagi apakah aku benar
mencintainya atau tidak.
Dengan
tanpa mengabaikannya sedetikpun, aku berusaha merogoh kantong saku jasku. Kotak
merah yang sudah sebulan ini kupersiapkan, dengan hati berdebar kuletakkan itu di
hadapan Rere. "Selamat 2 tahun pacaran, Re," Pelan, aku mulai menunjukkan
cincin bermata biru yang bertengger manis disana. "Will you marry me?" Akhirnya kata sakral itu terucap juga.
Kulihat
raut wajah cerianya tadi perlahan berubah. Sepasang mata belo dengan bulu mata lentiknya
terpejam agak lama. Dua tangan yang sedari tadi bertengger manis di atas meja mulai
ia turunkan ke pangkuannya. Seperempat detik kemudian, kepalanya mengikuti arah
tangannya. Perkiraanku, sedikit rasa gundah menyelimutinya. Atau mungkin, sangat
gundah?
Hening
merajai kami.
"Prasetya,"
panggilnya lirih. Sorot mataku menajam begitu ia memanggil nama asliku. Jika sudah
begini, tandanya dia ingin bicara serius, seserius mungkin. "Aku tidak bisa
menikah denganmu. Nanti apa kata keluarga dan rekan-rekan bisnismu kalau mereka
tahu kau menikahi seorang-"
"Pelacur?"
Aku memutus kata-katanya. "Harus berapa kali kukatakan padamu, Re? Aku sangat
mencintaimu. Aku serius ingin menikahimu. Aku tidak peduli statusmu. Kalau nanti
ada yang menghinamu, akan ada aku di sampingmu yang siap membelamu dengan sepenuh
hatiku. Aku akan jadi sayap pelindungmu," lanjutku.
"Bukan
hanya itu saja, Pras!" katanya dengan sedikit menaikkan nada bicara. "Maaf,
aku benar-benar tidak bisa. Kau terlalu baik untuk orang sepertiku, Pras. Carilah
yang lebih baik dariku," kali ini ia meminta dengan nada yang sangat lembut
terdengar.
Tapi
alasannya sangat klise.
"Tidak
bisa, Re! Aku sudah meyerahkan hatiku padamu, bukan yang lain!"
"Tapi
aku tidak bisa menerimamu, Pras!"
"Kenapa?"
"Karena
aku seorang pria! Karena aku seorang waria!"
Tubuhku
lemas seketika. Jadi selama ini?
Perkenalkan,
nama aslinya...
Reza.
0 comments