MGtbNGJ8Mqt9NaZ4MqN9MGRbMDcsynIkynwbzD1c

Cerpen Ajeng Maharani: Ribuan Ikan Berenang di Mata Itu, Daun-Daun Melayang dalam Mataku

BLANTERLANDINGv101
5821456843096345225

Cerpen Ajeng Maharani: Ribuan Ikan Berenang di Mata Itu, Daun-Daun Melayang dalam Mataku

 

Ribuan Ikan Berenang dalam Mata Itu,

Daun-Daun Melayang dalam Mataku*

Oleh: Ajeng Maharani

 

Aku merasa sebentar lagi akan meleleh di mulut istrimu seperti es krim cokelat-stroberi yang tengah dikulumnya penuh ketekunan itu. Ia menunduk khidmat, membacai sebuah cerita pendek di koran yang telah disediakan café ini sebagai kawan menikmati hidangan. Apa ceritanya bagus? tanyaku berbasa-basi, sedikit gugup dan canggung. Iya, jawabnya begitu singkat, memalingkan wajah ke arahku sejenak, mengulas senyum—ah, senyum itu berhasil menenggelamkanku dalam lumpur kesialan yang telah menimbun di kepalaku beberapa bulan ini—lalu kembali menekuni tubuh koran yang terhampar di atas meja saji.

“Ini penulis favoriku. Yetti A. KA. Seorang perempuan yang keren dan hebat.”

“Apakah ia hebat sebagai seorang penulis perempuan atau ….”

Mata polos yang tidak mengetahui apa-apa tentang hubungan kita itu kembali tekun menatap ke arahku. Jari-jemarinya beralih dari lembaran koran, lalu menekuk begitu luwes di dagunya yang cukup penuh itu.

“Ia hebat sebagai seorang perempuan. Kau tahu? Karena ia seorang ibu. Seorang ibu selalu menjadi sosok yang hebat di mataku.”


Pelan ia terhenti. Masih menekuniku, membuatku terjebak di dalam sana. Percikan kata-katanya melukaiku. Ia seperti sedang menghempas dan menikam dada ini kuat-kuat.

Kamu berdehem cepat, mencoba menarikku kembali dari lubang temaram itu sebelum aku terjerebab sepenuhnya. Sesak di tenggorokanku—mungkin juga di tenggorokanmu—lesap, membumbung hanyut oleh angin sore pukul lima.

Anak gadismu tiba-tiba menarik-narik lenganku. “Tante, Tante … Tante mau es krim?” Aku menelan ludah. Menghempas rasa bersalah yang menyelimuti tubuh bernoda ini. Anak gadismu yang baru empat tahun dengan rambut ikal berkelok-kelok itu menyendok secuil, menyuapiku. Lumeran rasa cokelat yang terlalu manis memenuhi dinding-dinding mulutku.

Tidak ada lagi percakapan setelah itu. Kamu terdiam, menghabiskan waktu dengan ponsel hitam yang menayangkan sebuah permainan online, tapi aku tahu kamu gelisah. Ia masih membaca. Masih memenuhi mulutnya dengan es krim, sesendok demi sesendok.

Sial! Kebekuan macam apa yang tengah kita lakoni menjelang senja ini?

Kamu dan aku baru pulang dari sebuah petualangan nakal yang sembunyi-sembunyi. Istrimu menjemputmu di alun-alun kota—Tuhan, kadang aku merasa kasihan dengan perempuan itu, yang tidak menyadari kecurangan yang dilakukan suaminya—lalu ia menagihmu membelikan es krim.

“Kenapa es krim?” tanyaku mencoba menyela keromantisan palsu yang kamu berikan padanya.

“Apa kau tahu, Han, dia melanggar janjinya,” jawab istrimu.

“Janji?”

Alisku mengerut, menatapmu penuh arti. Janji semacam apa yang kamu berikan pada perempuan yang kamu bilang cinta itu sudah tak ada lagi padanya.

“Dia janji akan pulang Sabtu malam, tapi nyatanya pulang Minggu sore.” Istrimu berkata dengan melipat kedua tangan di dada. Merajuk. Aku benci melihatnya. Karena setelah itu, kamu menyanggupi keinginannya. Dadaku meletup-letup. Kamu bahkan mengajakku berkumpul di sini, di café ini. Sebuah waktu penuh sial yang memberangus kecemburuanku.

“Sebenarnya, ada masalah apa, sih, di antara kalian?”

Mulutku yang kurang ajar tiba-tiba berceletuk. Kamu mendelik, menatapku tajam seolah ingin membunuhku. Ia menegakkan kepala, menatapku dengan alis mengerut. Tidak ada apa-apa, kok, jawabnya spontan. Ia masih menatapku. Seperti menelanjangi. Aku menjadi gugup dan salah tingkah.

“Te-Temanku yang bertanya, dia berteman denganmu di media sosial.”

“Benarkah?”

“I-Iya ….”

Aku teramat canggung dan takut dia bisa membaca itu di kedua bola mataku. Kamu mencoba mengalihkan pembicaraan, menunjukkan sebuah permainan pada gadis kecilmu yang sedari tadi asyik berputar-putar di meja kita.

“Memangnya, apa yang ditemukan temanmu di akunku?” tanya istrimu. Mata polosnya berubah. Ada secuil keraguan di sana.

Aku menelan ludah.

“A-Aku … juga tidak tahu.”

Ia tersenyum. Lagi dan lagi. Senyum yang menampakkan bahwa ia sedang baik-baik saja yang terkadang aku begitu membencinya. Setiap kali melihat bibir itu terulas, aku ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa kamu kini milikku. Milikku. Bahwa kita sudah menyusun rencana-rencana untuk masa depan, yang tentu saja tidak ada dirinya di dalam sana.

Sungguh, aku ingin ia tahu itu.

Senja kesumba menggantung di kaki langit. Kamu mengajak kita semua beranjak. Sudah hampir gelap, katamu. Sebentar lagi magrib tiba dan kamu tidak mau kita masih di tubuh jalanan beraspal ketika malam mulai merayapi bumi.

Kamu menaiki motor itu dan menyalakan mesin. Istrimu mendekatiku, mengucapkan selamat tinggal dan ucapan sampai bertemu kembali. Aku mengangguk kepala, bertemu kembali bukanlah harapanku. Aku tidak butuh dia. Tentu saja aku hanya butuh kamu.

Kulirik wajahmu. Seulas senyum kamu lontarkan padaku, lalu bibirmu bergerak-gerak, mengucapkan sebuah kalimat semacam sinyal kesunyian; Nanti kuhubungi lagi, ya, Sayang. Ah. Betapa aku begitu menggilaimu. Jantungku berdebar, cukup dengan keberanian kecilmu yang seperti itu saja aku sudah bahagia.

Tidak apa-apa. Sungguh, aku tidak apa-apa walaupun satu jam lalu dada ini bergelut dengan kecemburuan. Kamu sudah sering mengatakan agar aku harus  lebih bersabar—tentu saja aku harus bersabar—karena kesabaran kita, katamu, adalah hal paling indah yang akan kita petik bersama-sama. Nanti. Cukuplah kita sembunyi-sembunyi saja untuk saat ini, dan membiarkan istrimu tetap bahagia menekuni buku-buku dan cerita-cerita pendek di koran, seperti seorang perempuan bodoh yang tidak tahu bahwa ia tengah dilanda kesepian yang membunuhnya pelan-pelan. []

 

 

Sidoarjo, 10 Januari 2021

*judul cerpen Yetti A. KA yang sedang dibaca oleh tokoh istri

 

 

 

Ajeng Maharani

Penikmat sastra yang lahir di Surabaya. Buku kumpulan cerpennya; Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Penerbit Basabasi, 2017), Suatu Malam Ketika Bintang-Bintang Terjatuh (Penerbit LovRinz, 2017)

 

 

 

 

BLANTERLANDINGv101
  1. Waoooow cerita yang bikin darah mendidih dan nangis darah. Cerpen yang makjleb karena berkisah tentang pelakor yang teman sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maturnuwun, Bu Maya. Ini kurang panjang sebenarnya, kurang maksimal saya. Waktunya mepet. Hahahaha 🤣

      Hapus
  2. Wow.. Keren cerpennya. Bisa ya menulis seperti ini. Sy membacanya seperti main puzzle pada awalnya.

    BalasHapus
  3. Wow.. Keren cerpennya. Bisa ya menulis seperti ini. Sy membacanya seperti main puzzle pada awalnya.

    BalasHapus

Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang