Ribuan
Ikan Berenang dalam Mata Itu,
Daun-Daun
Melayang dalam Mataku*
Oleh: Ajeng Maharani
Aku merasa sebentar lagi akan meleleh di mulut
istrimu seperti es krim cokelat-stroberi yang tengah dikulumnya penuh ketekunan
itu. Ia menunduk khidmat, membacai sebuah cerita pendek di koran yang telah
disediakan café ini sebagai kawan menikmati hidangan. Apa ceritanya bagus?
tanyaku berbasa-basi, sedikit gugup dan canggung. Iya, jawabnya begitu singkat,
memalingkan wajah ke arahku sejenak, mengulas senyum—ah, senyum itu berhasil
menenggelamkanku dalam lumpur kesialan yang telah menimbun di kepalaku beberapa
bulan ini—lalu kembali menekuni tubuh koran yang terhampar di atas meja saji.
“Ini penulis favoriku. Yetti A.
KA. Seorang perempuan yang keren dan hebat.”
“Apakah ia hebat sebagai
seorang penulis perempuan atau ….”
Mata polos yang tidak
mengetahui apa-apa tentang hubungan kita itu kembali tekun menatap ke arahku. Jari-jemarinya
beralih dari lembaran koran, lalu menekuk begitu luwes di dagunya yang cukup
penuh itu.
“Ia hebat sebagai seorang
perempuan. Kau tahu? Karena ia seorang ibu. Seorang ibu selalu menjadi sosok
yang hebat di mataku.”
Pelan ia terhenti. Masih menekuniku,
membuatku terjebak di dalam sana. Percikan kata-katanya melukaiku. Ia seperti
sedang menghempas dan menikam dada ini kuat-kuat.
Kamu berdehem cepat, mencoba
menarikku kembali dari lubang temaram itu sebelum aku terjerebab sepenuhnya. Sesak
di tenggorokanku—mungkin juga di tenggorokanmu—lesap, membumbung hanyut oleh
angin sore pukul lima.
Anak gadismu tiba-tiba menarik-narik
lenganku. “Tante, Tante … Tante mau es krim?” Aku menelan ludah. Menghempas
rasa bersalah yang menyelimuti tubuh bernoda ini. Anak gadismu yang baru empat
tahun dengan rambut ikal berkelok-kelok itu menyendok secuil, menyuapiku.
Lumeran rasa cokelat yang terlalu manis memenuhi dinding-dinding mulutku.
Tidak ada lagi percakapan
setelah itu. Kamu terdiam, menghabiskan waktu dengan ponsel hitam yang
menayangkan sebuah permainan online,
tapi aku tahu kamu gelisah. Ia masih membaca. Masih memenuhi mulutnya dengan es
krim, sesendok demi sesendok.
Sial! Kebekuan macam apa yang
tengah kita lakoni menjelang senja ini?
Kamu dan aku baru pulang dari
sebuah petualangan nakal yang sembunyi-sembunyi. Istrimu menjemputmu di
alun-alun kota—Tuhan, kadang aku merasa kasihan dengan perempuan itu, yang
tidak menyadari kecurangan yang dilakukan suaminya—lalu ia menagihmu membelikan
es krim.
“Kenapa es krim?” tanyaku
mencoba menyela keromantisan palsu yang kamu berikan padanya.
“Apa kau tahu, Han, dia
melanggar janjinya,” jawab istrimu.
“Janji?”
Alisku mengerut, menatapmu
penuh arti. Janji semacam apa yang kamu berikan pada perempuan yang kamu bilang
cinta itu sudah tak ada lagi padanya.
“Dia janji akan pulang Sabtu
malam, tapi nyatanya pulang Minggu sore.” Istrimu berkata dengan melipat kedua
tangan di dada. Merajuk. Aku benci melihatnya. Karena setelah itu, kamu
menyanggupi keinginannya. Dadaku meletup-letup. Kamu bahkan mengajakku
berkumpul di sini, di café ini. Sebuah waktu penuh sial yang memberangus
kecemburuanku.
“Sebenarnya, ada masalah apa,
sih, di antara kalian?”
Mulutku yang kurang ajar
tiba-tiba berceletuk. Kamu mendelik, menatapku tajam seolah ingin membunuhku.
Ia menegakkan kepala, menatapku dengan alis mengerut. Tidak ada apa-apa, kok,
jawabnya spontan. Ia masih menatapku. Seperti menelanjangi. Aku menjadi gugup
dan salah tingkah.
“Te-Temanku yang bertanya, dia
berteman denganmu di media sosial.”
“Benarkah?”
“I-Iya ….”
Aku teramat canggung dan takut
dia bisa membaca itu di kedua bola mataku. Kamu mencoba mengalihkan
pembicaraan, menunjukkan sebuah permainan pada gadis kecilmu yang sedari tadi
asyik berputar-putar di meja kita.
“Memangnya, apa yang ditemukan
temanmu di akunku?” tanya istrimu. Mata polosnya berubah. Ada secuil keraguan
di sana.
Aku menelan ludah.
“A-Aku … juga tidak tahu.”
Ia tersenyum. Lagi dan lagi.
Senyum yang menampakkan bahwa ia sedang baik-baik saja yang terkadang aku
begitu membencinya. Setiap kali melihat bibir itu terulas, aku ingin sekali
berteriak di wajahnya, bahwa kamu kini milikku. Milikku. Bahwa kita sudah
menyusun rencana-rencana untuk masa depan, yang tentu saja tidak ada dirinya di
dalam sana.
Sungguh, aku ingin ia tahu
itu.
Senja kesumba menggantung di
kaki langit. Kamu mengajak kita semua beranjak. Sudah hampir gelap, katamu.
Sebentar lagi magrib tiba dan kamu tidak mau kita masih di tubuh jalanan
beraspal ketika malam mulai merayapi bumi.
Kamu menaiki motor itu dan
menyalakan mesin. Istrimu mendekatiku, mengucapkan selamat tinggal dan ucapan
sampai bertemu kembali. Aku mengangguk kepala, bertemu kembali bukanlah
harapanku. Aku tidak butuh dia. Tentu saja aku hanya butuh kamu.
Kulirik wajahmu. Seulas senyum
kamu lontarkan padaku, lalu bibirmu bergerak-gerak, mengucapkan sebuah kalimat
semacam sinyal kesunyian; Nanti kuhubungi lagi, ya, Sayang. Ah. Betapa aku
begitu menggilaimu. Jantungku berdebar, cukup dengan keberanian kecilmu yang
seperti itu saja aku sudah bahagia.
Tidak apa-apa. Sungguh, aku
tidak apa-apa walaupun satu jam lalu dada ini bergelut dengan kecemburuan. Kamu
sudah sering mengatakan agar aku harus
lebih bersabar—tentu saja aku harus bersabar—karena kesabaran kita,
katamu, adalah hal paling indah yang akan kita petik bersama-sama. Nanti.
Cukuplah kita sembunyi-sembunyi saja untuk saat ini, dan membiarkan istrimu
tetap bahagia menekuni buku-buku dan cerita-cerita pendek di koran, seperti seorang
perempuan bodoh yang tidak tahu bahwa ia tengah dilanda kesepian yang membunuhnya
pelan-pelan. []
Sidoarjo, 10 Januari 2021
*judul cerpen Yetti A. KA yang sedang dibaca oleh tokoh istri
Ajeng Maharani
Penikmat sastra yang lahir di Surabaya. Buku
kumpulan cerpennya; Ia Tengah Menanti
Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Penerbit Basabasi, 2017), Suatu Malam Ketika Bintang-Bintang Terjatuh
(Penerbit LovRinz, 2017)
Waoooow cerita yang bikin darah mendidih dan nangis darah. Cerpen yang makjleb karena berkisah tentang pelakor yang teman sendiri.
BalasHapusMaturnuwun, Bu Maya. Ini kurang panjang sebenarnya, kurang maksimal saya. Waktunya mepet. Hahahaha 🤣
HapusWow.. Keren cerpennya. Bisa ya menulis seperti ini. Sy membacanya seperti main puzzle pada awalnya.
BalasHapusWow.. Keren cerpennya. Bisa ya menulis seperti ini. Sy membacanya seperti main puzzle pada awalnya.
BalasHapus