Menolak Ditolak
Niswahikmah
Maaf, aku sama sekali nggak bermaksud menyakiti, tapi aku nggak
bisa menerima lamaranmu. Semoga bisa menemukan yang lebih baik dariku. Salam.
Pesan itu masuk ke ponsel Rizky di hari Senin malam. Ia terpekur
membacanya. Sesaat, ia merasa percaya dirinya hilang. Namun, di sisi lain, ia
juga tidak terlampau kaget dengan hasilnya karena orang-orang sudah
mewanti-wanti. Berulang kali sebelum diutarakannya niat, mereka sudah bilang,
“Dia sudah menolak sekian banyak laki-laki. Kamu cuma akan jadi korban
berikutnya.”
Bahkan, salah satu teman cowok yang juga pernah ditolak menggembosi
niatnya. “Udah, mundur aja, daripada hasilnya ntar kayak aku.” Namun, ia tidak
mau mundur sebelum mencoba. Pantang baginya menyerah sebelum berusaha. Maka,
dengan modal basmalah, didatanginya rumah gadis itu untuk mengutarakan maksud
hati.
Tidak menunggu sampai seminggu untuk mendapatkan hasilnya. Hanya
dua hari, ia sudah menerima pesan tersebut.
Menghela napas, Rizky menggulir layar ponselnya dan mengetikkan
jawaban.
Aku belum melampirkan CV dan kita belum saling berkenalan. Mungkin
aku salah langkah langsung melamar, tapi aku bersedia kalau kita saling
mengenal dulu. Bagaimana kira-kira?
Setelah membaca ulang dan memastikan jawabannya tidak terlampau
menekan, ia memencet ikon ‘kirim’. Seharusnya tidak jadi soal untuk saling
kenalan. Mungkin saja, hanya dirinya yang mengenal baik, tapi gadis itu tidak
tahu apa-apa, sehingga kaget ketika langsung mendapat pinangan. Ia bisa
membayangkan gadis itu berpikir tentang hidup dengan orang asing secara
tiba-tiba, pasti rasanya tidak nyaman.
Namun, pesan itu tidak harus menunggu lama untuk terbalas.
Maaf, sepertinya nggak bisa. Aku belum siap.
Ia meletakkan ponselnya lunglai. Benarkah karena belum siap?
Setahunya, usia gadis itu sudah cukup untuk menikah. Kariernya cukup bagus
meski masih menempuh pendidikan yang hampir selesai. Dari pihak keluarga juga
kelihatannya tidak ada permintaan untuk menunda pernikahan, bahkan mereka
menyambut baik kedatangannya dua hari yang lalu.
Jauh di dalam hati, Rizky yakin, ada yang tidak beres.
***
“Tuh kan, apa aku bilang? Udah pasti ditolak. Kamu pake nekat
segala.”
Teman cowok yang sebelumnya ia maksud kini duduk di hadapannya,
terpisah meja di hadapan yang menyajikan sepiring soto ayam. Istirahat kerja
mereka gunakan untuk makan siang bersama. Meski tidak seperusahaan, tapi kantor
keduanya cukup dekat dan kadang mereka bertemu di kedai yang terletak di
tengah-tengah.
“Ya, kan cowok harus berani nyoba,” sahutnya. “Tapi aku ngerasa ada
yang nggak beres, deh, Lang.”
Cowok bernama Elang itu memeras jeruk nipis dan menambahkan kecap
pada sotonya. Sambil menyendok sambal, ia menjawab, “Iya lah, nggak beres.
Cewek nolak puluhan laki-laki, padahal kualifikasinya cetar semua. Udah jelas dia
itu nggak normal.”
“Hush! Kamu enak aja kalo ngomong.”
Elang terkekeh mendengar nada bicara rekannya. “Yah, ini aku masih
pake bahasa halus. Sebagian yang ditolak malah bilang kayaknya dia nggak suka
cowok, deh. Lesbi.” Meski disampaikan dengan berbisik, tetap saja
membuat Rizky tersedak dan batuk-batuk. Cowok bermata cokelat itu menyedot
jusnya.
“Itu kesimpulan dari mana coba? Dia itu akhwat, pake
kerudung, sering ikut majelis ilmu. Ngawur aja kamu!” sahutnya kemudian.
“Yeee, ngeyel kamu dibilangin. Daftar cowok yang ditolak dia itu
segunung. Dan alasannya ada aja. Mulai dari nggak cocok, keluarga nggak
merestui, belum siap, dan lain-lain. Harusnya kalau masalah siap, dia udah siap
sejak lulus S-1, lah. Sekarang udah hampir selesai S-2, malah.”
Argumentasi Elang ada benarnya, tapi kesiapan menikah tidak diukur
dari strata pendidikannya. Boleh jadi juga memang ada yang tidak cocok di diri
pelamar, makanya ditolak. Ia mengusir pikiran-pikiran negatif dalam kepalanya
yang membenarkan omongan temannya itu.
“Bisa-bisa jadi perawan tua dia,” lanjut Elang.
Rizky mendengkus. “Ada juga kamu, perjaka tua, gagal move on.”
Ia ngakak melihat ekspresi kecut Elang karena masalahnya diungkit-ungkit. Ya,
Elang baru putus dari pacarnya dua bulan lalu, dan belum bisa menghilangkan
rasa cintanya.
Mereka melanjutkan makan dengan tenang. Usai menandaskan mangkok
soto masing-masing, ponsel Rizky bergetar. Ia memeriksanya selagi Elang
beranjak membayar tagihan. Ada notifikasi dari website yang biasa
dilihatnya, memuat konten cerpen. Sudah lama sejak cerpen terakhir tayang di
laman tersebut. Penasaran, ia mengeklik notifikasi tersebut, dan laman Google
Chrome segera memenuhi layar.
Gadis yang Meringkuk dalam Sepi
Karya Roihatuzzahra.
***
Jika seorang seniman tidak mau diajak berkenalan, maka kenali dia
lewat karya-karyanya. Entah itu pelukis, musisi, artis, atau penulis, kita akan
selalu bisa “mengenalinya” lewat apa yang dia hasilkan. Seniman menuangkan
ide-ide pikiran dalam karyanya, bahkan kadang itu merefleksikan gejolak hati
dan pengalamannya. Secara sadar atau tidak, mereka bisa menjadikan sejarah
pribadi sebagai inspirasi karya.
Maka, Rizky menemukan cara lain untuk mengenalinya tanpa harus
benar-benar bicara. Kemungkinan kesamaan nama sangatlah kecil, mengingat nama gadis
itu tidak terlalu pasaran. Selain itu, ia sudah memastikan bahwa Zahra, gadis
itu, memang penulis. Media sosialnya memuat keterangan pekerjaan lepas yang
dijalaninya, pula tautan cerpen dan artikel buatannya yang tembus media.
Di hari libur, Rizky menyempatkan diri duduk di depan laptop,
menyelusuri internet untuk mencari lebih banyak cerpen karangan Zahra. Ia
ketikkan nama yang biasa dipakai untuk publikasi—lebih singkat daripada nama
asli—dan menemukan lusinan daftar cerpen karangannya.
Mati di Bui
Agama Orang-Orang yang Marah
Ditelan Kenangan
Wanita Itu Memilih Menghilang
Pernikahan Keduabelas
Pengantin Terakhir
Ia membaca semua judul, mula-mula, dan menemukan sebagian besar
menyiratkan tema-tema berunsur duka. Setelah membaca beberapa, ia bisa menyimpulkan
bahwa gadis itu selalu memakai konflik batin dalam ceritanya. Sebagian membahas
keluarga yang broken home, kegagalan pernikahan, kenakalan remaja, serta
kesehatan mental. Sisanya mengkritik kebiasaan sosial masyarakat yang kurang
baik.
Tulisan-tulisan itu membuat Rizky seperti diaduk-aduk emosi. Seolah
ia sedang melihat gadis itu menuliskannya di hadapan layar dengan sepenuh
perasaan. Mengingat beberapa tema terulang dengan ide cerita yang berbeda, ia
bisa mengidentifikasi bahwa kemungkinan inspirasi dari tema-tema itu adalah
dirinya sendiri.
Jika memang hipotesisnya benar, berarti Zahra ada dalam posisi
rawan secara emosional. Sangat mungkin keputusannya menolak laki-laki tumbuh
dari gagasan-gagasan dalam kepalanya, yang kadang irasional. Seperti cerpen-cerpennya
yang menyuguhkan metafora, mungkin ada begitu banyak luka yang ia sembunyikan
dalam-dalam. Atau mungkin tidak. Ini perlu untuk dipastikan.
Rizky meraih ponselnya, mengetikkan beberapa kata di laman chat,
sembari berharap nomornya belum diblokir demi menghindari komunikasi lebih
lanjut pasca penolakan.
Aku nggak masalah dengan keputusanmu. Tapi, kalau kita tetap
berteman baik, bisa kan?
Dengan basmalah, ia mengirim pesan itu.
***
Pertemuan pertama Rizky dan Zahra sebenarnya sudah terjadi
bertahun-tahun lalu. Mungkin gadis itu tidak ingat kalau Rizky satu almamater
dengannya. Tentu saja, karena mereka tidak satu fakultas. Namun, beberapa kali
Rizky mengikuti acara di fakultas lain, dan bertemu Zahra di Fakultas Bahasa
dan Budaya. Gadis itu aktif menjadi anggota HIMA dan menjadi panitia di
beberapa acara kampus juga. Beda dengan Rizky yang hanya mampu bertahan satu
tahun di Himpunan Mahasiswa, kemudian memutuskan hanya fokus di UKM Bisnis
untuk mengembangkan passion-nya di bidang marketing produk.
Rizky dua tahun lebih tua dibanding Zahra, jadi tentu ia lulus
lebih dulu dan bekerja di kota yang sama dengan letak kampus itu. Maka, ia
masih bisa memantau adik-adik tingkat satu per satu lulus, begitu pula Zahra. Suatu
hari, gadis itu diajak bekerja sama oleh kantornya untuk pemasaran suatu
produk. Jadi, ia sering mondar-mandir ke kantor, tapi Rizky bukan penanggung
jawab produk tersebut, dan tidak terlalu tahu kontribusinya. Hanya saja, itu
membuat intensitas pertemuan mereka meningkat dan menumbuhkan perasaan lain di
hati Rizky.
Baru-baru ini, setelah melakukan riset singkat seputar karya-karya
Zahra, ia baru tahu, gadis itu sempat menjadi content writer freelance
untuk produk yang dirilis perusahaannya saat itu. Bukan brand ambassador
atau sales marketing seperti dugaannya dulu.
“Yah, masa kamu nggak tahu sih, Ky? Kan dia pinter nulis, makanya
kita rekrut. Sebenernya mau jadi karyawan tetap karena performanya bagus, tapi
dia ngutamain S-2 dulu. Jadi, paling selesai S-2, bos mau ambil dia,” cerita
teman yang meja kerjanya bersebelahan dengannya.
Rizky manggut-manggut. Ia membuka ponsel dan melihat lagi jawaban
dari pesan yang dikirimnya kemarin.
Zahra: Iya, bisa.
Mohon maaf sekali lagi, ya.
Rizky: Udah, stop
minta maafnya. Ngomong-ngomong, kamu suka nulis, kan? Aku nggak sengaja nemu
cerpenmu kemarin di website X.
Pendekatan ini terbukti efektif. Zahra mau membalas, dan dari
bahasanya, ia kelihatan lebih relaks saat Rizky membicarakan hobi—atau
profesinya—itu. Rizky yakin, bukannya gadis itu tidak suka laki-laki, tapi ia
hanya mencari lelaki yang “tepat”.
***
Ia kira, definisi “tepat” adalah bisa memahami latar belakang gadis
itu, yang sesuai dugaan mengalami guncangan dalam keluarga, juga bisa mengerti
soal hobinya. Namun, Rizky baru tahu bahwa maksud “tepat” juga adalah mengerti
problema psikologis dari konflik-konflik batin yang Zahra cerminkan dalam
cerpen-cerpennya.
Aku nulis cerpen juga untuk katarsis. Makanya, tema-temanya banyak
yang sama. Sebagian memang nyata terjadi, tapi aku kasih ending yang bahagia, dengan harapan ending itulah yang
jadi kenyataan kelak.
Rizky melanjutkan membaca opini-opini yang juga di-posting
Zahra di media sosialnya. Gadis itu menyorot mengenai pentingnya peran keluarga
bagi anak-anak, rendahnya kesadaran orang tua untuk belajar ilmu parenting,
permasalahan anak sekolah, juga tentang menghadapi kondisi mental yang down.
Meski bukan mahasiswa Psikologi, ia mendapatkan insight dari
teman-temannya di Fakultas Psikologi dan sharing dengan psikolog
kenalannya, maupun sumber-sumber informasi valid di internet mengenai kajian
psikologi.
Jadi, kalau stres, terus nulis, baikan ya? Aku coba juga deh,
nanti. Kerjaan kadang suka bikin stres, pengin jalan-jalan juga repot ambil
cutinya.
Rizky membuka diskusi-diskusi ringan beberapa hari sekali, dan
semakin lama, respons Zahra tidak lagi secanggung sebelumnya. Obrolan mereka
sudah mengalir meski tanpa tatap muka. Dan, Rizky tahu kalau masalahnya bukan
pada kualifikasi laki-laki yang melamar, tapi gadis itu masih trauma pada
pernikahan. Ketakutan akan perceraian orang tuanya sekaligus khawatir si
laki-laki tidak bisa memahami kondisi psikisnya yang masih tidak stabil hingga
kini, menjadi alasan semua penolakan itu.
Dalam pesan terakhir sebelum Rizky beristirahat hari itu, dia
memberanikan diri bertanya.
Kalau ada laki-laki yang bisa memahami riwayat keluarga dan kondisi
psikismu, gimana? Apa kamu masih khawatir?
Esok harinya, ia mendapatkan jawaban.
Mungkin enggak, kalau kualitas agamanya juga bagus. Tapi kriteriaku
kebanyakan ya? Kayaknya bakal susah cari yang gitu, hehehe.
Rizky menggeleng, meski ia tahu Zahra tidak melihat. Sedikit
lagi, Zah, tunggu aku, batinnya.
***
Hari-hari berikutnya ia habiskan untuk membeli buku-buku psikologi
yang membahas efek perceraian dalam keluarga serta cara menjadi caregiver
bagi penderita gangguan psikologis. Ia mencatat poin-poin penting dalam buku
khusus. Ia juga mengerjakan tes-tes psikologi yang ada di dalam buku tersebut
untuk menilai kesiapannya menjadi caregiver bila benar-benar mendampingi
Zahra kelak.
Perlahan, ia juga mulai rajin salat duha, memperbaiki waktu
tidurnya agar bisa bangun lebih pagi, tilawah lebih sering, sembari meluruskan
niat. Bukan untuk Zahra, tapi untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah.
Sambil menguatkan hati, bahwa setelah semua usaha ini, kalaupun Zahra tidak
memilihnya, tidak apa-apa. Ilmu yang didapat tidak sia-sia dan gadis lain masih
ada. Penting sekali untuk mempersiapkan spiritual dan mental menghadapi kondisi
apa pun nantinya.
Dalam persiapan itu, ia hanya sesekali mengontak Zahra kalau cerpen
gadis itu dimuat atau ada hal-hal tentang psikologi yang ingin dibahasnya.
Sisanya, ia memberi cukup ruang dan jarak agar mereka tidak terlalu terikat.
Agar bila nanti harus saling menjauh, tidak akan terasa sulit.
Setelah merasa cukup siap, ia kembali bertemu Elang untuk bilang,
“Doanya, Bro. Aku mau lamar Zahra lagi.”
“Eh, kan udah ditolak? Gila aja, ngapain dilamar lagi?” Elang
mengernyit bingung.
Rizky angkat bahu. “Anggap aja percobaan kedua.”
“Heh! Cewek lain banyak kali.”
“Kalau cewek lain banyak, harusnya kamu udah move on dan
pacaran lagi,” sahut Rizky asal, membuat lawan bicaranya mendengkus.
“Iya deh, suka-suka kamu. Semoga berhasil.”
Rizky mengamini dalam hati. Esok harinya, ia sudah berdiri di depan
pintu rumah itu. Tidak sendiri, melainkan bersama ayahnya. Ia sudah
menceritakan latar belakang keluarga dan kondisi Zahra yang agak berbeda,
dengan harapan kelak tidak ada konflik saat gadis itu menjadi istrinya. Memikirkannya,
Rizky tidak bisa menahan senyum.
Pintu di hadapannya terbuka. Kata demi kata mengalir dari belah
bibir. Jeda sekian lama. Semua percakapan mereka dalam pesan-pesan singkat
mengelilingi pikiran masing-masing. Dalam tunduk, keduanya memainkan jemari,
mengakui kegugupan dalam hati.
Hingga sampai pada ujung, Rizky mendongak untuk mendapati Zahra
tetap diam, tapi seulas senyum masih bisa ia tangkap dari wajahnya.
Jika diamnya wanita adalah “iya”, maka hari ini, lembaran baru
telah resmi dibuka.
***
Profil Penulis
Niswahikmah, penulis dan editor lepas di beberapa penerbit indie.
Bermukim di Sidoarjo. Telah menerbitkan enam buku solo dan tergabung dalam
puluhan antologi bersama. Dapat dihubungi melalui IG: @sayapsenja atau FB:
Niswa Hikmah Assaudiyah.
Ini ada beberapa karya ?
BalasHapusCuma satu Bu, emang cerpennya panjang hihi
HapusBroken home yaaa, kereen kakaa hihihi
BalasHapusAsyik baca ini buat isi waktu luang
Akhirnya, bisa mampir dan baca juga.
BalasHapus