MGtbNGJ8Mqt9NaZ4MqN9MGRbMDcsynIkynwbzD1c

Cerpen Kyota Hamzah: Hajah Singapura

BLANTERLANDINGv101
5821456843096345225

Cerpen Kyota Hamzah: Hajah Singapura

 Hajah Singapura

Oleh: Kyota Hamzah

 


Dua perempuan membicarakan seorang janda yang baru pulang dari haji. Ratna Suroso namanya, istri dari pegawai pabrik gula Toelangan itu jadi pembicaraan orang-orang sekampung. Bagaimana bisa berangkat haji berdua tetapi pulang hanya seorang diri saja. Maka untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, Bu Ratna menutup diri di rumah selama beberapa hari.

"Dimana Bu Ratna?" tanya Bu Peni.

"Entahlah, sudah seminggu ini beliau tidak nampak barang hidungnya," balas Bu Katemi.

"Padahal dia baru pulang dari Mekkah, masa tidak ada kenduren?" cercanya pada Bu Katemi.

"Aku sendiri juga tidak tahu."

Wanita kurus yang terus bertanya itu adalah Peni, salah satu tetangga sebelah kanan Bu Ratna. Sedangkan temannya yang bertubuh berisi adalah Katemi. Sama-sama tetangga sebelah Bu Ratna, tapi di sebelah kiri rumahnya. Rumah mereka hanya terpisah sungai besar yang jadi batas perkampungan dengan rumah dinas yang ditempati Bu Ratna.

Meski bersebelahan, mereka tidak saling kenal. Mereka hanya menempati rumah dinas sembari membereskan pekarangan dan menyapu isi rumah. Mereka hanya pesuruh yang disuruh menempati rumah sampai ada pegawai Eropa atau pribumi terdidik yang mendiami rumah tersebut. Salah satunya adalah suami Bu Ratna.

"Tapi, apa benar dia sudah jadi hajah? Biasanya perjalanan haji itu dua tiga tahun, ini baru lima bulan sudah kembali?"

"Eh Bu Peni, tidak baik ngomongin orang yang baru pulang haji. Sampai tidaknya hanya Kanjeng Pengeran yang menilai, bukan urusan kita."

"Tapi, apa benar kabar yang saya dengar dari Pak Carik kalau kapal yang dinaiki karam?"

"Ya, tanya saja sendiri sama Bu Ratna! Saya kan tidak ikut naik kapal, jadi mana tahu?"

"Ah, Bu Katemi ini tidak asyik blas!"

"Eh Bu Peni, kita ke sini kan buat mengantar bontotan buat suami kita di sawah, kenapa malah ngegosip sih?"

"Tapi kan kasihan Jeng, sudah keluar duit banyak buat biaya haji, belum lagi tes yang katanya wajib dijawab sebelum berangkat ke Mekah sama menir-menir Belanda."

"Mau bagaimana lagi? Yang punya kapal kan mereka, kita cuma nunut berangkat. Yang penting nawaitu ingsun Gusti Allah sudah ikhlas."

"Terserah jenengan sih, yang pasti kalau saya jadi Bu Ratna bakal tidak pulang karena malu tidak bisa naik haji."

"Masalahnya jenengan bukan Bu Ratna dan kenapa juga jenengan yang jadi sewot begitu?"

"Sebel aja, masa orang kayak Bu Ratna bisa berangkat! Mentang-mentang suaminya kerja jadi priyayi langsung berangkat haji saja."

"Kamu iri ya, sama Bu Ratna?"

"Bukan iri, hanya sebel aja."

"Tidak baik iri sama keberuntungan orang lain, semua sudah ada yang ngatur enaknya bagaimana."

"Walau hanya sampai di Singapura saja?"

"Itu sih kehendak yang Mahakuasa. Yang pasti niat dan usahanya sudah dicatat oleh malaikat sebagai amal perbuatannya."

Kedua wanita itu masih mengobrol membicarakan tetangganya yang baru pulang dari pelabuhan. Bekal yang mereka bawa ke sawah merupakan hasil sumbangan dari Bu Ratna sebelum berangkat ke tanah suci. Ada yang bilang bila sumbangan yang ia berikan terlalu banyak, sehingga bekal perjalanannya kurang. Ada pula yang bilang bila kapal yang dinaikinya karam.

***

Kapalnya karam dihantam badai. Jemaah haji yang selamat dievakuasi ke Singapura oleh pelaut yang melintas. Tragedi ini jadi tamparan keras bagi biro perjalanan haji milik orang Belanda dan para calo haji. Bagaimana tidak, semangat menunaikan rukun Islam yang kelima bagi masyarakat begitu besar setelah sebelumnya diperketat oleh pemerintah Hindia Belanda.

Dahulu yang lolos naik haji hanya kisaran 70 orang saja sekali perjalanan, kini mereka memperbolehkan naik haji dengan syarat wajib memakai baju gamis putih atau pakaian khusus yang menggambarkan seorang Haji dan Hajah. Mereka berhak menyandang gelar haji di tengah masyarakat. Tak ayal bila jumlah pendaftar membludak hingga ribuan orang yang ingin mendaftar jadi Haji dan Hajah.

Sejatinya orang-orang Belanda takut akan banyaknya pendaftar haji, namun atas saran Snouck Hurgronje, para pemangku kepentingan jadi lega. Para pendaftar boleh berangkat ke tanah suci asal tidak membawa pengaruh ke tengah masyarakat, toh mereka juga suka dengan perputaran uang yang masuk ke kantong mereka. Maka para oportunis memanfaatkan kelonggaran peraturan haji dengan membuka biro perjalanan yang bekerja sama dengan "orang dalam" dari kolonial.

Sebelum ke tanah suci, para jemaah menjalani tes di pos-pos penjagaan milik Belanda dan Inggris. Dari daerah asal, Pulau Onrust, dan Singapura jadi tempat yang harus dilalui. Birokrasi sengaja diperpanjang agar biaya semakin membengkak, rata-rata peserta Hhaji kehabisan uang dan bekal di Singapura sehingga muncul istilah "Haji Singapura" oleh masyarakat setempat. Mereka kembali ke kampung halaman menyandang gelar itu meski belum sampai ke Mekah.

Mungkin itu yang membuat Bu Ratna merasa galau dengan gelar yang diperolehnya. Kini dia seorang hajah, tetapi belum pernah menginjakkan kaki di tanah suci. Mau bagaimana lagi, takdir berkata lain. Impian menunaikan ibadah haji harus berhenti di tengah jalan karena faktor alam dan birokrasi yang berbelit-belit. Setidaknya dia sudah berusaha walau belum berhasil.

Setidaknya dia tahu satu hal, bahwa haji memang perjalanan yang sakral. Meski suami dan keluarganya merupakan orang terpandang di perkebunan tebu, tetapi bila belum saatnya akan susah dilalui. Harta tidak bisa menjadi jaminan keberhasilan menjalankan ibadah haji.

Tanah dan perkebunan di kawasan Watu Tulis tidak menjadikan keberangkatannya berjalan mulus. Namun, dia bersyukur masih bisa pulang ke rumah dengan selamat. Dia masih selamat meski badai menewaskan separuh penumpang kapal. Mungkin ini salah satu dari tanda cinta dari Sang Mahakuasa.

***

BLANTERLANDINGv101

Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang