Hajah Singapura
Oleh: Kyota Hamzah
Dua perempuan
membicarakan seorang janda yang baru pulang dari haji. Ratna Suroso namanya,
istri dari pegawai pabrik gula Toelangan itu jadi pembicaraan orang-orang
sekampung. Bagaimana bisa berangkat haji berdua tetapi pulang hanya seorang
diri saja. Maka untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, Bu Ratna
menutup diri di rumah selama beberapa hari.
"Dimana
Bu Ratna?" tanya Bu Peni.
"Entahlah,
sudah seminggu ini beliau tidak nampak barang hidungnya," balas Bu Katemi.
"Padahal
dia baru pulang dari Mekkah, masa tidak ada kenduren?" cercanya pada Bu
Katemi.
"Aku sendiri juga tidak tahu."
Wanita kurus
yang terus bertanya itu adalah Peni, salah satu tetangga sebelah kanan Bu
Ratna. Sedangkan temannya yang bertubuh berisi adalah Katemi. Sama-sama
tetangga sebelah Bu Ratna, tapi di sebelah kiri rumahnya. Rumah mereka hanya
terpisah sungai besar yang jadi batas perkampungan dengan rumah dinas yang
ditempati Bu Ratna.
Meski
bersebelahan, mereka tidak saling kenal. Mereka hanya menempati rumah dinas
sembari membereskan pekarangan dan menyapu isi rumah. Mereka hanya pesuruh yang
disuruh menempati rumah sampai ada pegawai Eropa atau pribumi terdidik yang
mendiami rumah tersebut. Salah satunya adalah suami Bu Ratna.
"Tapi,
apa benar dia sudah jadi hajah? Biasanya perjalanan haji itu dua tiga tahun,
ini baru lima bulan sudah kembali?"
"Eh Bu
Peni, tidak baik ngomongin orang yang baru pulang haji. Sampai tidaknya hanya
Kanjeng Pengeran yang menilai, bukan urusan kita."
"Tapi,
apa benar kabar yang saya dengar dari Pak Carik kalau kapal yang dinaiki
karam?"
"Ya,
tanya saja sendiri sama Bu Ratna! Saya kan tidak ikut naik kapal, jadi mana
tahu?"
"Ah, Bu
Katemi ini tidak asyik blas!"
"Eh Bu
Peni, kita ke sini kan buat mengantar bontotan buat suami kita di sawah, kenapa
malah ngegosip sih?"
"Tapi
kan kasihan Jeng, sudah keluar duit banyak buat biaya haji, belum lagi tes yang
katanya wajib dijawab sebelum berangkat ke Mekah sama menir-menir
Belanda."
"Mau
bagaimana lagi? Yang punya kapal kan mereka, kita cuma nunut berangkat. Yang
penting nawaitu ingsun Gusti Allah sudah ikhlas."
"Terserah
jenengan sih, yang pasti kalau saya jadi Bu Ratna bakal tidak pulang karena
malu tidak bisa naik haji."
"Masalahnya
jenengan bukan Bu Ratna dan kenapa juga jenengan yang jadi sewot begitu?"
"Sebel
aja, masa orang kayak Bu Ratna bisa berangkat! Mentang-mentang suaminya kerja
jadi priyayi langsung berangkat haji saja."
"Kamu
iri ya, sama Bu Ratna?"
"Bukan
iri, hanya sebel aja."
"Tidak
baik iri sama keberuntungan orang lain, semua sudah ada yang ngatur enaknya
bagaimana."
"Walau
hanya sampai di Singapura saja?"
"Itu sih
kehendak yang Mahakuasa. Yang pasti niat dan usahanya sudah dicatat oleh
malaikat sebagai amal perbuatannya."
Kedua wanita
itu masih mengobrol membicarakan tetangganya yang baru pulang dari pelabuhan.
Bekal yang mereka bawa ke sawah merupakan hasil sumbangan dari Bu Ratna sebelum
berangkat ke tanah suci. Ada yang bilang bila sumbangan yang ia berikan terlalu
banyak, sehingga bekal perjalanannya kurang. Ada pula yang bilang bila kapal
yang dinaikinya karam.
***
Kapalnya
karam dihantam badai. Jemaah haji yang selamat dievakuasi ke Singapura oleh
pelaut yang melintas. Tragedi ini jadi tamparan keras bagi biro perjalanan haji
milik orang Belanda dan para calo haji. Bagaimana tidak, semangat menunaikan
rukun Islam yang kelima bagi masyarakat begitu besar setelah sebelumnya
diperketat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dahulu yang
lolos naik haji hanya kisaran 70 orang saja sekali perjalanan, kini mereka memperbolehkan
naik haji dengan syarat wajib memakai baju gamis putih atau pakaian khusus yang
menggambarkan seorang Haji dan Hajah. Mereka berhak menyandang gelar haji di
tengah masyarakat. Tak ayal bila jumlah pendaftar membludak hingga ribuan orang
yang ingin mendaftar jadi Haji dan Hajah.
Sejatinya
orang-orang Belanda takut akan banyaknya pendaftar haji, namun atas saran
Snouck Hurgronje, para pemangku kepentingan jadi lega. Para pendaftar boleh
berangkat ke tanah suci asal tidak membawa pengaruh ke tengah masyarakat, toh
mereka juga suka dengan perputaran uang yang masuk ke kantong mereka. Maka para
oportunis memanfaatkan kelonggaran peraturan haji dengan membuka biro
perjalanan yang bekerja sama dengan "orang dalam" dari kolonial.
Sebelum ke
tanah suci, para jemaah menjalani tes di pos-pos penjagaan milik Belanda dan
Inggris. Dari daerah asal, Pulau Onrust, dan Singapura jadi tempat yang harus
dilalui. Birokrasi sengaja diperpanjang agar biaya semakin membengkak,
rata-rata peserta Hhaji kehabisan uang dan bekal di Singapura sehingga muncul
istilah "Haji Singapura" oleh masyarakat setempat. Mereka kembali ke
kampung halaman menyandang gelar itu meski belum sampai ke Mekah.
Mungkin itu
yang membuat Bu Ratna merasa galau dengan gelar yang diperolehnya. Kini dia
seorang hajah, tetapi belum pernah menginjakkan kaki di tanah suci. Mau
bagaimana lagi, takdir berkata lain. Impian menunaikan ibadah haji harus
berhenti di tengah jalan karena faktor alam dan birokrasi yang berbelit-belit.
Setidaknya dia sudah berusaha walau belum berhasil.
Setidaknya
dia tahu satu hal, bahwa haji memang perjalanan yang sakral. Meski suami dan
keluarganya merupakan orang terpandang di perkebunan tebu, tetapi bila belum
saatnya akan susah dilalui. Harta tidak bisa menjadi jaminan keberhasilan
menjalankan ibadah haji.
Tanah dan
perkebunan di kawasan Watu Tulis tidak menjadikan keberangkatannya berjalan mulus.
Namun, dia bersyukur masih bisa pulang ke rumah dengan selamat. Dia masih
selamat meski badai menewaskan separuh penumpang kapal. Mungkin ini salah satu
dari tanda cinta dari Sang Mahakuasa.
***
0 comments