CINTA DALAM DIAM DI PENJARA SUCI
Cerpen Islami
Oleh: Erly Ngastiyo
Waktu terus berjalan
mengikuti sunnatullahnya, Bu Fia semakin mantap terhadap pilihan pondok di
Takhassus Al Qur’an Ar Rahim di Lumajang. Ustadz Dayat sebenarnya sayang dan
berat untuk melepaskan Hidah pindah pondok ke Lumajang, walau sudah berusaha
memberi solusi akan tetapi pindah merupakan langkah yang harus ditempuh.
“Kalau tetap di pondok Blitar walau
difasilitasi terkhusus Hidah untuk menghafal Al Qur’an sendiri, itu nanti tidak
akan maksimal. Karena menghafal Al qur’an itu butuh suasana yang nyaman dan butuh
teman agar saling berlomba, terpacu, termotivasi, sehingga saling tersemangati.
Kalau Hidah ngafal sendiri tak ada temannya pasti malas tak semangat untuk
menghafal,” pikir dan pertimbangan Bu Fida dalam hatinya.
Tibalah di tempat pondok, Hidah melihat-lihat
kondisi sekitarnya sembari berkata “Bunda kayaknya aku cocok di sini. Nanti aku
gak akan pulang kalau belum hafal 30 juz.”
“Alhamdulillah Hidah, semoga Allah
memudahkan semuanya, jaga diri baik-baik disini, jaga ibadahnya, jaga Allah.
Bunda memasrahkan penjagaanmu hanya pada Allah. Ya, sudah Bunda dan ayah akan
segera balik,” pesan Bu Fia
“Iya Bunda, aamiin,”
sahut Hidah, sambil mencium tangan ayah dan bundanya.
Pondok Takhassus Al Qur’an di Lumajang
memang baru berdiri, Hidah angkatan pertama ada dua kelas yaitu kelas akhowat
berisi sepuluh dan kelas putra berisi 12 santri. Pondoknya masih sedikit
berantakan banyak aral melintang bahan-bahan material karena masih dalam pembangunan
pengembangan gedung.
Ada tiga kamar santriwati,
kebetulan Hidah bersama dua orang temannya, yaitu bernama Sinta
rumahnya Probolinggo, Alis rumahnya Pasuruan. Mereka bertiga saling mengenal.
“Hidah, ayo kita ke aula waktunya dzikir Al Ma’tsurat sore,” ajak
Sinta dan Alis. Mereka bertiga bergegas menuju Aula.
Malam telah tiba kemudian gelap dan
dingin menyelimuti bumi dilengkapi suara binatang jangkring menambah syahdu
suasana malam. Hidah melirik jam dinding di kamar menunjukkan pukul sebelas
lewat limas menit, namun rasa kantuk
Hidah belum tiba. Sinta dan Alis tampaknya sedang menikmati tidur yang lelap.
Hidah berusaha memejankan matanya, namun tak jua bisa untuk mendatangkan rasa
kantuk itu.
Entahlah apa yang terjadi dalam dirinya, Hidah menutupi seluruh
tubuhnya dengan selimut agar segera tertidur.
“Ya...Allah, kenapa saya kok tak bisa
tidur ini,” gumam Hidah dalam hati.
Kemudian Hidah ingat pesan bundanya,
kalau susah tidur dipaksa ditidurkan sambil banyak dzikir ananti kalau capek
pasti akan tidur. Hidah mencobanya dengan banyak dzikir, sampai mulut terasa
capek kok kantuk itu belum datang. Kemudian hidah melirik jam dinding lagi.
“Wowww, udah jam satu malam,” bisik Hida
dalam hati.
“Hidah...! Ayo bangun, ini sudah
pukul tiga,” Sinta berusaha membangunkannya.
“Hemmm...,” Hidah beranjak, kaget dan bingung.
Rupanya ia tadi sudah bisa tidur.
Karena tidur terlalu malam, akhirnya Hidah tak bisa bangun sendiri. Sholat malam telah
ditunaikan, sambil menunggu waktu subuh Hidah berzikir sambil menahan kantuk.
“Hidah bagaimana tidurnya semalam? tanya
Alis sambil makan nasi goreng menu sarapan pagi.
“Emmm, gimana, ya. Saya tadi malam gak
bisa tidur, mungkin saya bisa tidur sekitar jam duaan. Entah kenapa,” terang
Hidah.
“Mungkin kamu adaptasi baru pertama kali
di Lumajang, hawanya panas luar biasa,” hibur Sinta.
Mereka bertiga semakin akrab, saling
memotivasi apalagi dalam menghafal Al qur’an, dan selalu bertiga ke mana-mana.
“Kalian tahu gak, nanti jadwal ziyadah diajukan
ba’da dzuhur karena Ustadzah Mita ada acara,” kata Sinta.
Ziyadah itu adalah penambahan hafalan
atau bisa disebut setoran hafalan baru. Jadi biasanya sebelum ziyadah ada
muroja’ah. Muroja’ah disebut mengulang hafalan yang lama.
“Wuahhhh, aku baru sedikit ini hafalanku
kalau mau ziyadah nanti,” terang Alis.
“Sama, aku juga baru setengah halaman,”
tambah Hidah.
“Ya, udah....ayo kita fokuskan untuk
menghafal waktu yang tinggal sedikit ini,” ajak Sinta.
Malam telah tiba dan sudah hari kedelapan,
bagi Hidah malam itu tak menyenangkan. Karena Hidah sejak pertama kali datang
tidak bisa tidur. Bagi Hidah penuh perjuangan menghadapi malam itu. Hal ini
sudah diketahui oleh musrifahnya Pondok, banyak motivasi untuknya. Hidah
termenung mencari solusi agar bisa tidur sore. Karena efek tidur malam akan
terbengkalai dan tubuhnya pun menjadi lemah. Mengikuti aktifitas pondok pun
juga tak bisa maksimal.
“Assalamu’alaikum, Hidah ini ada telpon
dari bundamu,”
“Terima kasih Ustdzah Mita,” jawab Hidah.
“Assalamu’alaikum Hidah, bagaimana kabar
mu, Nak?” tanya Bu Fia.
“Baik bunda, Alhamdulillah. Gimana kabar
Bunda, Ayah, dan gimana kabar adek Dini? Ada kabar apa?” Hidah balik
tanya.
“Alhamdulillah semuanya baik,” jawab Bu
Fia.
“Bunda, Hidah mulai malam pertama datang
hingga sekarang ini kalau malam susah tidur,” ucap Hidah sedih.
“Kok bisa gitu, coba kamu banyak olah
raga, mungkin kamu kurang olah raga. Atau kurangi tidur siangmu,” terang Bu
Fia.
“Memang gak ada olah raganya Bunda, ada
itu ekskul bela diri, tapi yang ikut sedikit perempuannya,” jelas Hidah.
“Gak apa-apa, kamu ikut aja asal ada
temennya perempuan. Karena olah raga itu penting apalagi mantan bintang Tapak
Suci,” ledek Bu Fia sambil tertawa.
Malam itu sudah menunjukkan pukul
sembilan, mereka bertiga masih ngobrol.
“Hidah kamu dapat salam dari Kak Reza,”
kata Sinta sambil tiduran.
“Kak Reza...siapa dia. Kok tahu aku,”
tanya Hidah.
“Itu kakaknya Sinta,” sela Alis.
“Oh...ya, karena aku cerita tentang kamu
ke Kak Reza.” Jawab Sinta.
“Ayo, cerita apa tentang diriku?” tanya
Hidah penuh penasaran.
“Jangan kuatir Hidah, aku
cerita yang baik-baik kok, ke kakakku. Kalau kamu itu dulu jagoan silat.
Kebetulan Kak Reza itu pelatih ekskul pencak silat di
pondok ini,” terang Sinta.
“Apa...? Aku malu tahu. Ok, baiklah
tolong sampaikan balik salamku untuk ke Kak Reza. Aku pingin ikut ekskul silat,
kalau itu ada peserta akhowatnya,” jawab Hidah.
“Yang bener, kamu ingin ikut ekskul
pencak silat, nanti akan aku sampaikan ke Kakakku. InsyaAllah ada peserta
akhowatnya. Tentunya pasti Kak Reza senang apalagi kamu itu cantik,” goda
Sinta.
“Sinta jangan bercanda berlebihan gitu,
aku serius ingin ikut ekskul pencak silat. Bundaku tadi barusan telpon aku
diijini ikut. Karena kata Bunda untuk olah raga gak apa-apa ikut.” jawab Hidah.
Akhirnya Hidah ikut ekskul pencak silat,
Sinta dan Alis pun ikut sambil menemani Hidah. Reza sebagai pelatih sangat
disiplin tapi baik dan sabar. Reza begitu perhatian sama
Hidah karena Hidah sangat semangat dan senang mengikutinya, Reza
mengganggap seperti adeknya sendiri.
Reza Abdullah kakak Sinta, badannya
tinggi berkulit sawo matang, rambutnya ikal, hidungnya agak mancung jadi
kelihatan kayak keturunan Arab, ia mahasiswa semester 5 jurusan Tehnik Sipil di
Perguruan tinggi Negeri di kota Jember. Reza kakak alumni pondoknya Hidah jadi
ia membantu mengajar ekskul Pencak Silat tiap hari Minggu. Jadi Reza
setiap hari Minggu pasti pulang ke Lumajang dan sembari mengajar ekskul silat
di Pondoknya. .
Udara malam itu kota Lumajang terasa
dingin. Hidah merapatkan jaketnya yang lumayan tebal. Ia masukkan ujung
belakang kerudungnya di balik punggung jaketnya agar tak berkibat-kibar tertiup
angin. Langit cukup gelap, namun sepanjang tak nampak gelap karena tersinari
cahaya lampu warna-warni yang menghiasi hampir seluruh kota Lumajang. Kebetulan
pondok Hidah lokasinya deket kotanya Lumajang.
Hidah mempercepat langkah kakinya dari
minimarket membeli perlengkapan mandi dan lainnya. Hidah melirik jam tangan
ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kali ini ia berjalan
sendirian. Sudah lama ia tak biasa berjalan sendirian. Namun karena mendesak
persediaan sabun mandi, shampo, pembalut dan tisu sudah habis. Terpaksalah ia
sendirian karena Sinta kurang enak badan dan Alis lagi pulang kerumah karena neneknya
sedang sakit.
Hidah sedikit was-was. Ia semakin
mempercepat langkahnya. Asrama pondoknya kurang beberapa meter lagi.
“Heiiii, Mbak Cantik...kok sendirian!”
Sebuah seruan dan sekelebat tubuh tinggi datang menghadang
langkahnya, tiba-tiba membuat Hidah bagai tersengat listrik ribuan watt saking
terkejutnya. Apalagi di belakang Hida juga nampak seorang laki-laki.
Hidah bingung karena dari depan dan
belakang ada yang menghadang. Laki-laki yang dari belakang segera menyaut
bawaan yang berada di tangan kanan Hidah. Laki-laki yang satunya dari depan mau
memegang tangan kiri Hidah.
Hidah memutarkan badan dan merundukkan kepalanya, tetapi datanglah
sosok tinggi berjaket hudi warna hitam memukul dua laki-laki tampaknya sedang
mabuk.
Hidah memandangi tanpa berkedip melihat
sosok laki yang memukul mundur dua laki-laki dengan gerakan yang cepat dan
tepat menandakan gerakan silat yang profesional. Tanpa lama kedua laki-laki itu
kabur lari terbirit-birit.
“Hidah kamu tak apa-apa?” sapa laki-laki
tinggi berjaket hitam yang menolong Hidah.
Hidah kaget, “kok tahu namaku ya,” tapi mendengar suaranya sudah
tak asing lagi, bisik Hidah dalam hatinya.
“Iyaaaa, saya tak apa-apa. Terima kasih
ya, sudah menyelamatkanku.” Hidah masih penasaran. Dari remang-remang, ada pantulan
cahaya berkilau lampu di pinggir jalan.
“Ini kak Reza, ya?” Hidah baru sadar dan
ingat kalau itu suara Kak reza dan gerakan-gerakan menyerang musuh sudah
dikenal Hidah.
“Iya, kenapa kamu sendirian jalan keluar,
ayo Kakak antar sampai asrama putri. Lain kali hati-hati karena di sini ini
tidak aman banyak pemuda nongkrong dan mabuk,” nasehat Reza sambil mengantar
Hidah.
Dengan napas terengah-engah akhirnaya
Hidah masuk kamarnya. Ia segera membuka pintu kamarnya. Lalu ia menyandarkan
tubuhnya di pintu itu seraya menarik napas panjang dan menghembuskannya
perlahan.
“Hidah, kamu kenapa kok kelihatannya aneh
dan agak ketakutan gitu,” ujar Sinta keluar dari kamar mandi.
Kemudian Hidah menjelaskan peristiwa yang
menimpa dirinya. Hidah merasa beruntung kebetulan ada orang yang menolong.
“Siapa orang yang menolong itu,” tanya
Sinta penasaran.
“Yang menolongku tadi adalah Kak Reza,”
jelas Hidah.
“Alhamdulillah, Hidah kamu tak apa-apa.
Lain kali kalau keluar malam walau dekat jangan sendirian, ya. Dan maafin aku
tadi gak bisa nemeni kamu,” pesan Sinta.
Hidah tersenyum lega, setidak-tidaknya
malam ini ia merasa tenang karena keadaan baik. Hidah langsung membasuh mukanya
dan merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur.
Minggu pagi yang cerah, baru satu jam
lalu adzan Subuh berkumandang. Namun sudah nampak cerah. Lelambaian pepohonan
yang hijau memberikan semilir udara pagi yang segar. Burung-burung berkicau di
pohon mangga, memberikan kabar akan atas karunia Allah sang pencipta alam
semesta, agar semua ciptaan tunduk atas kebesaran-Nya. Hidah pagi itu sedang
mendapat piket bersih-bersih kamar. Mulai menyapu, mengepel merapikan tempat tidur dan buku buku yang
berserakan meja. Hidah tertarik buku novel milik Sinta yang berjudul “Tahajud
Cinta di Kota New York” karangan Arumi.E.
“Sin...aku pinjem novelmu ini, ya?” tanya
Hidah sambil menunjukkan buku novel ke Sinta.
“Boleh, itu punyae Kak Reza. Tapi aku
belum baca sama sekali. Gak apa-apa kalau kamu baca duluan,”
Hidah memandangi Novel itu, membuka halaman
pertama, tak disadari ada lipatan kertas terjatuh dari dalam novel. Hidah
segera memungut lipatan kertas dan membukanya kertas itu. di dalam kertas ada
foto Hidah. “Mungkin foto itu ambil dari Fb atau IG ku,” batin Hidah.
Kemudian Hidah membaca lipatan kertas itu
ternyata tulisannya Kak Reza untuk Hidah.
Semakin penasaran dibacalah semuanya, begitu kagetnya Hidah
ternyata selama ini Kak Reza menaruh hati kepadanya. Hidah bingung, harus
berbuat bagaimana, apa yang akan dilakukan. Bagaimana menjaga perasaannya jika
ketemu Hidah waktu latihat pencak silat.
Sempat ada rasa benci karena Hidah
menganggap Kak Reza itu kakaknya seperti Sinta ke Kak Reza. Bagaimana pun itu
tidak boleh terjadi, karena Islam menjaga batas pergaulan atau rasa sesama
lawan jenis.
Surat dalam lipatan kertas dan fotonya itu di simpan Hidah. Ia
merasa terganggu dan mulai tidak nyaman, ada yang melukai hatinya. Ia memulai
memikirkan untuk menghadapi semuanya.
Hari Minggu waktunya ekskul pencak silat,
namun Hidah tidak hadir. Kemalasan dan kejengkelan sedang menderanya. Apalagi
malas ketemu Reza.
“Hidah mana, kok gak kelihatan, ini?
tanya Reza.
“Hidah kurang enak badan Kak,” sahut
Sinta.
Setelah melatih pencak silat Reza duduk sambil istirahat, tak lama
kemudian Ustdz Andi datang menyampiri.
“Assalamu’alaikum Reza. Akhir-akhir ini
saya amati kamu kelihatan sedang murung. Ada apa,” sapa Ustdz Andi sambil
berjabat tangan. .
“Waalaikumslam. Ah...Ustad tahu aja.
Boleh saya bertanya ke Ustad, menurut Ustadz cinta dalam diam itu bagaimana?
“Ehemmmm..sedang terusik dalam hatinya
Reza, ya,” ledek Ustadz Andi.
“Biasa Ustadz, bukannya itu fitrah? Tanya
Reza.
“Memang mencintai
seseorang merupakan suatu fitrah yang diberikan Allah kepada setiap hambanya.
Cinta itu sesuatu hal yang suci dalam Islam, oleh karena itu kita harus menjaga
sebenar-benarnya cinta tersebut. Salah satu cara terbaik dalam menjaga cinta tersebut
adalah
menitipkan perasaan cinta tersebut kepada
Allah seperi kisah cinta Fatimah dan Ali yang mencintai dalam diam dan
dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Terang Ustadz Andi.
“Kalau gak salah suatu ketika Fatimah dilamar oleh seorang laki-laki yang
sangat dekat dengan Nabi Saw, ia telah mempertaruhkan harta, jiwa, dan
kehidupannya untuk Islam, selalu menemani perjuangan Rasulullah Saw. Dialah Abu
Bakar Ash Shiddiq. Mendengar kabar itu entah mengapa Ali terkejut, muncul
rasa-rasa yang dia pun tak mengerti,” tambah Reza
“Namun
dibandingkan Abu Bakar Ali merasa apalah dirinya, ia merasa dia hanya pemuda
yang miskin, sedangkan Abu Bakr Ash Shiddiq orang yang kedudukannya dekat di
sisi Nabi, segi finansialpun Abu Bakar ialah seorang saudagar, tentu akan lebih
bisa membahagiakan Fatimah. Hal itu Ali merasa diuji karena apalah dirinya,
hanya pemuda miskin dari keluarga miskin,” sela Ustad Andi.
“Iya bener Ustad,” jawab Reza sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kemudian beberapa waktu berlalu,
Ali mendapat kabar bahwa lamaran Abu Bakar Ash Shiddiq di tolak Fatimah. Kabar
itu tentu menumbuhkan kembali harapannya. Ali kembali mempersiapkan diri,
berharap ia masih mempunyai kesempatan,” lanjut Ustad Andi. Andi semakin serius
mendengar kisah itu. Sementara Ustad Reza dengan asyik melanjutkan ceritanya.
“Ternyata
ujian Ali belum berakhir, ia mesti diuji lagi dengan munculnya lelaki yang
gagah nan perkasa dan pemberani. Seorang laki-laki yang setan aja lari karena
takut kepadanya, musuh-mush Allah bertekuk lutut. Dialah yang diberi gelar
Al-faruq, ya , dialah Umar ibn Al Khaththab. Ia datang setelah Abu Bakar
mundur. Ia yang terkenal dengan pemisah antara kebenaran dan kebatilan datang
melamar Fatimah.”
“Masyaallah, luar biasa kesabaran dan
ketawadhu’an,” sela Reza.
“Lagi, lagi, Ali harus berusaha ikhlas, Ali ridha
jika Fatimah menikah dengan Umar, sahabat kedua terbaik Rasulullah setelah Abu
Bakar. Namun beberapa saat kemudian Ali menerima kabar yang membuat Ali semakin
bingung, karena lamaran Umar ditolak,” tambah
Ustad Reza.
“Akhirnya Ali bin Abi Athalib pun memberanikan dirinya untuk menemui
Rasulullah untuk menyampai maksud hatinya meminag putri nabi Fatimah untuk jadi
istrinya, tambah Reza.
“Benar.... sekarang siapa gadis cinta dalam
diamnya Reza?” tanya Ustad Reza
“He,he,he.. biarkan menjadi rahasia saya sama
Allah, saja Ustad,” Jawab Andi.
“Ya,
benar. Itulah gar cinta tetap dalm fitrah jangan dikotori,” tambah Ustad Andi.
“Maaf, Ustad, saya ijin pamitan duluan. Terima
kasih atas penjelasan dan nasehatnya,” sapa Reza sembari berjabat tangan.
...
.
Sore yang sendu. Burung-burung lalu lalang di lngit. Anak-anak pondok asyik
melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang tilawah Al Qur’an di Mushola,
ada yang duduj-duduk santai di teras pondoknya. Ada yang mandi agar tidak antri
panjang. Namun Hidah berada di kamarnya sambil tiduran. Hidah semakin semakin
hari merasa tidak nyaman. Semakin mantap untuk tidak mengikuti kegiatan ekskul
silat di pondoknya. Dan hidah bertambah bersyukur lagi dapat kabar kalau Kak
Reza fokus kuliah karena banyak tugas kuliah yang terbengkalai, akhirnya
memutuskn untuk resign tak bisa mengajar ekskul silat.lagi .
0 comments