MGtbNGJ8Mqt9NaZ4MqN9MGRbMDcsynIkynwbzD1c

Cerpen Islami: Cinta dalam Diam di Penjara Suci

BLANTERLANDINGv101
5821456843096345225

Cerpen Islami: Cinta dalam Diam di Penjara Suci

CINTA DALAM DIAM DI PENJARA SUCI

Cerpen Islami

Oleh: Erly Ngastiyo

 

Waktu terus berjalan mengikuti sunnatullahnya, Bu Fia semakin mantap terhadap pilihan pondok di Takhassus Al Qur’an Ar Rahim di Lumajang. Ustadz Dayat sebenarnya sayang dan berat untuk melepaskan Hidah pindah pondok ke Lumajang, walau sudah berusaha memberi solusi akan tetapi pindah merupakan langkah yang harus ditempuh.

 

“Kalau tetap di pondok Blitar walau difasilitasi terkhusus Hidah untuk menghafal Al Qur’an sendiri, itu nanti tidak akan maksimal. Karena menghafal Al qur’an itu butuh suasana yang nyaman dan butuh teman agar saling berlomba, terpacu, termotivasi, sehingga saling tersemangati. Kalau Hidah ngafal sendiri tak ada temannya pasti malas tak semangat untuk menghafal,” pikir dan pertimbangan Bu Fida dalam hatinya.

 

Tibalah di tempat pondok, Hidah melihat-lihat kondisi sekitarnya sembari berkata “Bunda kayaknya aku cocok di sini. Nanti aku gak akan pulang kalau belum hafal 30 juz.

 

“Alhamdulillah Hidah, semoga Allah memudahkan semuanya, jaga diri baik-baik disini, jaga ibadahnya, jaga Allah. Bunda memasrahkan penjagaanmu hanya pada Allah. Ya, sudah Bunda dan ayah akan segera balik,” pesan Bu Fia

 

“Iya Bunda, aamiin,” sahut Hidah, sambil mencium tangan ayah dan bundanya.

 

Pondok Takhassus Al Qur’an di Lumajang memang baru berdiri, Hidah angkatan pertama ada dua kelas yaitu kelas akhowat berisi sepuluh dan kelas putra berisi 12 santri. Pondoknya masih sedikit berantakan banyak aral melintang bahan-bahan material karena masih dalam pembangunan pengembangan gedung.

 

Ada tiga kamar santriwati, kebetulan Hidah bersama dua orang temannya, yaitu bernama Sinta rumahnya Probolinggo, Alis rumahnya Pasuruan. Mereka bertiga saling mengenal.

“Hidah, ayo kita ke aula waktunya dzikir Al Ma’tsurat sore,” ajak Sinta dan Alis. Mereka bertiga bergegas menuju Aula.

 

Malam telah tiba kemudian gelap dan dingin menyelimuti bumi dilengkapi suara binatang jangkring menambah syahdu suasana malam. Hidah melirik jam dinding di kamar menunjukkan pukul sebelas lewat limas menit,  namun rasa kantuk Hidah belum tiba. Sinta dan Alis tampaknya sedang menikmati tidur yang lelap. Hidah berusaha memejankan matanya, namun tak jua bisa untuk mendatangkan rasa kantuk itu.

Entahlah apa yang terjadi dalam dirinya, Hidah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut agar segera tertidur.

 

“Ya...Allah, kenapa saya kok tak bisa tidur ini,” gumam Hidah dalam hati.

Kemudian Hidah ingat pesan bundanya, kalau susah tidur dipaksa ditidurkan sambil banyak dzikir ananti kalau capek pasti akan tidur. Hidah mencobanya dengan banyak dzikir, sampai mulut terasa capek kok kantuk itu belum datang. Kemudian hidah melirik jam dinding lagi.

“Wowww, udah jam satu malam,” bisik Hida dalam hati.

“Hidah...! Ayo bangun, ini sudah pukul tiga,” Sinta berusaha membangunkannya.

“Hemmm...,” Hidah beranjak, kaget dan bingung. Rupanya ia tadi sudah bisa tidur.

 

Karena tidur terlalu malam, akhirnya Hidah tak bisa bangun sendiri. Sholat malam telah ditunaikan, sambil menunggu waktu subuh Hidah berzikir sambil menahan kantuk.

 

“Hidah bagaimana tidurnya semalam? tanya Alis sambil makan nasi goreng menu sarapan pagi.

 

“Emmm, gimana, ya. Saya tadi malam gak bisa tidur, mungkin saya bisa tidur sekitar jam duaan. Entah kenapa,” terang Hidah.

 

“Mungkin kamu adaptasi baru pertama kali di Lumajang, hawanya panas luar biasa,” hibur Sinta. 

Mereka bertiga semakin akrab, saling memotivasi apalagi dalam menghafal Al qur’an, dan selalu bertiga ke mana-mana.

 

“Kalian tahu gak, nanti jadwal ziyadah diajukan ba’da dzuhur karena Ustadzah Mita ada acara,” kata Sinta.

Ziyadah itu adalah penambahan hafalan atau bisa disebut setoran hafalan baru. Jadi biasanya sebelum ziyadah ada muroja’ah. Muroja’ah disebut mengulang hafalan yang lama.

 

“Wuahhhh, aku baru sedikit ini hafalanku kalau mau ziyadah nanti,” terang Alis.

“Sama, aku juga baru setengah halaman,” tambah Hidah.

“Ya, udah....ayo kita fokuskan untuk menghafal waktu yang tinggal sedikit ini,” ajak Sinta.

 

Malam telah tiba dan sudah hari kedelapan, bagi Hidah malam itu tak menyenangkan. Karena Hidah sejak pertama kali datang tidak bisa tidur. Bagi Hidah penuh perjuangan menghadapi malam itu. Hal ini sudah diketahui oleh musrifahnya Pondok, banyak motivasi untuknya. Hidah termenung mencari solusi agar bisa tidur sore. Karena efek tidur malam akan terbengkalai dan tubuhnya pun menjadi lemah. Mengikuti aktifitas pondok pun juga tak bisa maksimal.

 

“Assalamu’alaikum, Hidah ini ada telpon dari bundamu,”

“Terima kasih Ustdzah Mita,” jawab Hidah.

 

“Assalamu’alaikum Hidah, bagaimana kabar mu, Nak?” tanya Bu Fia.

“Baik bunda, Alhamdulillah. Gimana kabar Bunda, Ayah, dan gimana kabar adek Dini? Ada kabar apa?”  Hidah balik tanya.

“Alhamdulillah semuanya baik,” jawab Bu Fia.

 

“Bunda, Hidah mulai malam pertama datang hingga sekarang ini kalau malam susah tidur,” ucap Hidah sedih.

 

“Kok bisa gitu, coba kamu banyak olah raga, mungkin kamu kurang olah raga. Atau kurangi tidur siangmu,” terang Bu Fia.

“Memang gak ada olah raganya Bunda, ada itu ekskul bela diri, tapi yang ikut sedikit perempuannya,” jelas Hidah.

“Gak apa-apa, kamu ikut aja asal ada temennya perempuan. Karena olah raga itu penting apalagi mantan bintang Tapak Suci,” ledek Bu Fia sambil tertawa.

 

Malam itu sudah menunjukkan pukul sembilan, mereka bertiga masih ngobrol.

“Hidah kamu dapat salam dari Kak Reza,” kata Sinta sambil tiduran.

“Kak Reza...siapa dia. Kok tahu aku,” tanya Hidah.

“Itu kakaknya Sinta,” sela Alis.

“Oh...ya, karena aku cerita tentang kamu ke Kak Reza.” Jawab Sinta.

“Ayo, cerita apa tentang diriku?” tanya Hidah penuh penasaran.

“Jangan kuatir Hidah, aku cerita yang baik-baik kok, ke kakakku. Kalau kamu itu dulu jagoan silat. Kebetulan Kak Reza itu pelatih ekskul pencak silat di pondok ini,” terang Sinta.

 

“Apa...? Aku malu tahu. Ok, baiklah tolong sampaikan balik salamku untuk ke Kak Reza. Aku pingin ikut ekskul silat, kalau itu ada peserta akhowatnya,jawab Hidah.

“Yang bener, kamu ingin ikut ekskul pencak silat, nanti akan aku sampaikan ke Kakakku. InsyaAllah ada peserta akhowatnya. Tentunya pasti Kak Reza senang apalagi kamu itu cantik,” goda Sinta.

“Sinta jangan bercanda berlebihan gitu, aku serius ingin ikut ekskul pencak silat. Bundaku tadi barusan telpon aku diijini ikut. Karena kata Bunda untuk olah raga gak apa-apa ikut.” jawab Hidah.

 

Akhirnya Hidah ikut ekskul pencak silat, Sinta dan Alis pun ikut sambil menemani Hidah. Reza sebagai pelatih sangat disiplin tapi baik dan sabar. Reza begitu perhatian sama

 

 

Hidah karena Hidah sangat semangat dan senang mengikutinya, Reza mengganggap seperti adeknya sendiri.

 

Reza Abdullah kakak Sinta, badannya tinggi berkulit sawo matang, rambutnya ikal, hidungnya agak mancung jadi kelihatan kayak keturunan Arab, ia mahasiswa semester 5 jurusan Tehnik Sipil di Perguruan tinggi Negeri di kota Jember. Reza kakak alumni pondoknya Hidah jadi ia membantu mengajar ekskul Pencak Silat tiap hari Minggu. Jadi Reza setiap hari Minggu pasti pulang ke Lumajang dan sembari mengajar ekskul silat di Pondoknya. .

 

Udara malam itu kota Lumajang terasa dingin. Hidah merapatkan jaketnya yang lumayan tebal. Ia masukkan ujung belakang kerudungnya di balik punggung jaketnya agar tak berkibat-kibar tertiup angin. Langit cukup gelap, namun sepanjang tak nampak gelap karena tersinari cahaya lampu warna-warni yang menghiasi hampir seluruh kota Lumajang. Kebetulan pondok Hidah lokasinya deket kotanya Lumajang.

 

Hidah mempercepat langkah kakinya dari minimarket membeli perlengkapan mandi dan lainnya. Hidah melirik jam tangan ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kali ini ia berjalan sendirian. Sudah lama ia tak biasa berjalan sendirian. Namun karena mendesak persediaan sabun mandi, shampo, pembalut dan tisu sudah habis. Terpaksalah ia sendirian karena Sinta kurang enak badan dan Alis lagi pulang kerumah karena neneknya sedang sakit.

 

Hidah sedikit was-was. Ia semakin mempercepat langkahnya. Asrama pondoknya kurang beberapa meter lagi.

“Heiiii, Mbak Cantik...kok sendirian!”

Sebuah seruan dan sekelebat tubuh tinggi datang menghadang langkahnya, tiba-tiba membuat Hidah bagai tersengat listrik ribuan watt saking terkejutnya. Apalagi di belakang Hida juga nampak seorang laki-laki.

Hidah bingung karena dari depan dan belakang ada yang menghadang. Laki-laki yang dari belakang segera menyaut bawaan yang berada di tangan kanan Hidah. Laki-laki yang satunya dari depan mau memegang tangan kiri Hidah.

 

Hidah memutarkan badan dan merundukkan kepalanya, tetapi datanglah sosok tinggi berjaket hudi warna hitam memukul dua laki-laki tampaknya sedang mabuk.

 

 

Hidah memandangi tanpa berkedip melihat sosok laki yang memukul mundur dua laki-laki dengan gerakan yang cepat dan tepat menandakan gerakan silat yang profesional. Tanpa lama kedua laki-laki itu kabur lari terbirit-birit.

“Hidah kamu tak apa-apa?” sapa laki-laki tinggi berjaket hitam yang menolong Hidah.

 

Hidah kaget, “kok tahu namaku ya,” tapi mendengar suaranya sudah tak asing lagi, bisik Hidah dalam hatinya.

 

“Iyaaaa, saya tak apa-apa. Terima kasih ya, sudah menyelamatkanku.” Hidah masih penasaran. Dari remang-remang, ada pantulan cahaya berkilau lampu di pinggir jalan.

“Ini kak Reza, ya?” Hidah baru sadar dan ingat kalau itu suara Kak reza dan gerakan-gerakan menyerang musuh sudah dikenal Hidah.

“Iya, kenapa kamu sendirian jalan keluar, ayo Kakak antar sampai asrama putri. Lain kali hati-hati karena di sini ini tidak aman banyak pemuda nongkrong dan mabuk,” nasehat Reza sambil mengantar Hidah.

 

Dengan napas terengah-engah akhirnaya Hidah masuk kamarnya. Ia segera membuka pintu kamarnya. Lalu ia menyandarkan tubuhnya di pintu itu seraya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. 

“Hidah, kamu kenapa kok kelihatannya aneh dan agak ketakutan gitu,” ujar Sinta keluar dari kamar mandi.

 

Kemudian Hidah menjelaskan peristiwa yang menimpa dirinya. Hidah merasa beruntung kebetulan ada orang yang menolong.

“Siapa orang yang menolong itu,” tanya Sinta penasaran.

“Yang menolongku tadi adalah Kak Reza,” jelas Hidah.

 

 

“Alhamdulillah, Hidah kamu tak apa-apa. Lain kali kalau keluar malam walau dekat jangan sendirian, ya. Dan maafin aku tadi gak bisa nemeni kamu,” pesan Sinta.

 

Hidah tersenyum lega, setidak-tidaknya malam ini ia merasa tenang karena keadaan baik. Hidah langsung membasuh mukanya dan merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur.

 

Minggu pagi yang cerah, baru satu jam lalu adzan Subuh berkumandang. Namun sudah nampak cerah. Lelambaian pepohonan yang hijau memberikan semilir udara pagi yang segar. Burung-burung berkicau di pohon mangga, memberikan kabar akan atas karunia Allah sang pencipta alam semesta, agar semua ciptaan tunduk atas kebesaran-Nya. Hidah pagi itu sedang mendapat piket bersih-bersih kamar. Mulai menyapu, mengepel  merapikan tempat tidur dan buku buku yang berserakan meja. Hidah tertarik buku novel milik Sinta yang berjudul “Tahajud Cinta di Kota New York” karangan Arumi.E.

 

“Sin...aku pinjem novelmu ini, ya?” tanya Hidah sambil menunjukkan buku novel ke Sinta.

“Boleh, itu punyae Kak Reza. Tapi aku belum baca sama sekali. Gak apa-apa kalau kamu baca duluan,”

                                                                                               

Hidah memandangi Novel itu, membuka halaman pertama, tak disadari ada lipatan kertas terjatuh dari dalam novel. Hidah segera memungut lipatan kertas dan membukanya kertas itu. di dalam kertas ada foto Hidah. “Mungkin foto itu ambil dari Fb atau IG ku,” batin Hidah.

 

 

Kemudian Hidah membaca lipatan kertas itu ternyata tulisannya Kak Reza untuk Hidah.

Semakin penasaran dibacalah semuanya, begitu kagetnya Hidah ternyata selama ini Kak Reza menaruh hati kepadanya. Hidah bingung, harus berbuat bagaimana, apa yang akan dilakukan. Bagaimana menjaga perasaannya jika ketemu Hidah waktu latihat pencak silat.

 

Sempat ada rasa benci karena Hidah menganggap Kak Reza itu kakaknya seperti Sinta ke Kak Reza. Bagaimana pun itu tidak boleh terjadi, karena Islam menjaga batas pergaulan atau rasa sesama lawan jenis.

Surat dalam lipatan kertas dan fotonya itu di simpan Hidah. Ia merasa terganggu dan mulai tidak nyaman, ada yang melukai hatinya. Ia memulai memikirkan untuk menghadapi semuanya.

 

Hari Minggu waktunya ekskul pencak silat, namun Hidah tidak hadir. Kemalasan dan kejengkelan sedang menderanya. Apalagi malas ketemu Reza.

 

“Hidah mana, kok gak kelihatan, ini? tanya Reza.

“Hidah kurang enak badan Kak,” sahut Sinta.

 

Setelah melatih pencak silat Reza duduk sambil istirahat, tak lama kemudian Ustdz Andi datang menyampiri.

 

“Assalamu’alaikum Reza. Akhir-akhir ini saya amati kamu kelihatan sedang murung. Ada apa,” sapa Ustdz Andi sambil berjabat tangan. .

“Waalaikumslam. Ah...Ustad tahu aja. Boleh saya bertanya ke Ustad, menurut Ustadz cinta dalam diam itu bagaimana?

 

“Ehemmmm..sedang terusik dalam hatinya Reza, ya,” ledek Ustadz Andi.

“Biasa Ustadz, bukannya itu fitrah? Tanya Reza.

Memang mencintai seseorang merupakan suatu fitrah yang diberikan Allah kepada setiap hambanya. Cinta itu sesuatu hal yang suci dalam Islam, oleh karena itu kita harus menjaga sebenar-benarnya cinta tersebut. Salah satu cara terbaik dalam menjaga cinta tersebut adalah

 

menitipkan perasaan cinta tersebut kepada Allah seperi kisah cinta Fatimah dan Ali yang mencintai dalam diam dan dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Terang Ustadz Andi.

“Kalau gak salah suatu ketika Fatimah dilamar oleh seorang laki-laki yang sangat dekat dengan Nabi Saw, ia telah mempertaruhkan harta, jiwa, dan kehidupannya untuk Islam, selalu menemani perjuangan Rasulullah Saw. Dialah Abu Bakar Ash Shiddiq. Mendengar kabar itu entah mengapa Ali terkejut, muncul rasa-rasa yang dia pun tak mengerti,” tambah Reza

 

“Namun dibandingkan Abu Bakar Ali merasa apalah dirinya, ia merasa dia hanya pemuda yang miskin, sedangkan Abu Bakr Ash Shiddiq orang yang kedudukannya dekat di sisi Nabi, segi finansialpun Abu Bakar ialah seorang saudagar, tentu akan lebih bisa membahagiakan Fatimah. Hal itu Ali merasa diuji karena apalah dirinya, hanya pemuda miskin dari keluarga miskin,” sela Ustad Andi.

“Iya bener Ustad,” jawab Reza sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

 “Kemudian beberapa waktu berlalu, Ali mendapat kabar bahwa lamaran Abu Bakar Ash Shiddiq di tolak Fatimah. Kabar itu tentu menumbuhkan kembali harapannya. Ali kembali mempersiapkan diri, berharap ia masih mempunyai kesempatan,” lanjut Ustad Andi. Andi semakin serius mendengar kisah itu. Sementara Ustad Reza dengan asyik melanjutkan ceritanya.

 “Ternyata ujian Ali belum berakhir, ia mesti diuji lagi dengan munculnya lelaki yang gagah nan perkasa dan pemberani. Seorang laki-laki yang setan aja lari karena takut kepadanya, musuh-mush Allah bertekuk lutut. Dialah yang diberi gelar Al-faruq, ya , dialah Umar ibn Al Khaththab. Ia datang setelah Abu Bakar mundur. Ia yang terkenal dengan pemisah antara kebenaran dan kebatilan datang melamar Fatimah.”

“Masyaallah, luar biasa kesabaran dan ketawadhu’an,” sela Reza.

 

 

Lagi, lagi, Ali harus berusaha ikhlas, Ali ridha jika Fatimah menikah dengan Umar, sahabat kedua terbaik Rasulullah setelah Abu Bakar. Namun beberapa saat kemudian Ali menerima kabar yang membuat Ali semakin bingung, karena lamaran Umar ditolak,” tambah

 

Ustad Reza.

 

Akhirnya Ali bin Abi Athalib pun memberanikan dirinya untuk menemui Rasulullah untuk menyampai maksud hatinya meminag putri nabi Fatimah untuk jadi istrinya, tambah Reza.

“Benar.... sekarang siapa gadis cinta dalam diamnya Reza?” tanya Ustad Reza

“He,he,he.. biarkan menjadi rahasia saya sama Allah, saja Ustad,” Jawab Andi.

 “Ya, benar. Itulah gar cinta tetap dalm fitrah jangan dikotori,” tambah Ustad Andi.

 

“Maaf, Ustad, saya ijin pamitan duluan. Terima kasih atas penjelasan dan nasehatnya,” sapa Reza sembari berjabat tangan.

...

. Sore yang sendu. Burung-burung lalu lalang di lngit. Anak-anak pondok asyik melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang tilawah Al Qur’an di Mushola, ada yang duduj-duduk santai di teras pondoknya. Ada yang mandi agar tidak antri panjang. Namun Hidah berada di kamarnya sambil tiduran. Hidah semakin semakin hari merasa tidak nyaman. Semakin mantap untuk tidak mengikuti kegiatan ekskul silat di pondoknya. Dan hidah bertambah bersyukur lagi dapat kabar kalau Kak Reza fokus kuliah karena banyak tugas kuliah yang terbengkalai, akhirnya memutuskn untuk resign tak bisa mengajar ekskul silat.lagi .

 

BLANTERLANDINGv101

Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang