Hari ini Mas Bimo tidak pulang lagi. Katanya ada rapat di luar kota yang tidak bisa ditinggalkan. Sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan garmen, Mas Bimo memang dituntut untuk lebih banyak mencurahkan waktu bagi perusahaan. Tanggung jawabnya memang sangat besar, aku memahami itu.
Namun, apa iya, sampai segitunya? Bahkan, dalam bulan ini saja, sudah tercatat lima kali ia keluar, itu pun tak hanya sebentar. Biasanya sampai tiga atau lima hari.
Saat tidak tugas keluar kota pun, ia selalu pulang larut malam. Praktis, lelaki yang seharusnya menjadi pengayom itu tidak pernah ada saat kubutuhkan, apalagi untuk anak- anak. Mas Bimo seolah asik dengan dunianya sendiri.
Kalau dipikir-pikir, agak janggal juga sebenarnya. Bayangkan saja, dengan kerja sekeras itu, gajinya juga tidak naik secara signifikan, setidaknya, itu yang dia katakan padaku. Dia bilang, di masa pandemi seperti ini, semua usaha sedang tidak stabil. Banyak perusahaan yang hampir gulung tikar. Beruntung ia masih bisa bertahan, meski harus bekerja keras.
Karena itu, kehidupanku masih tetap seperti yang dulu, serba pas-pasan, bahkan bisa dikatakan jauh dari kata cukup. Dengan tiga anak yang masih kecil, apalagi dua diantaranya masih balita, tentu membuatku semakin tidak berdaya. Tahu sendiri, kan, bagaimana repotnya memiliki anak kecil?
Belum lagi mengurusi pekerjaan rumah yang tidak pernah ada habisnya. Semua kulakukan sendiri, tanpa bantuan Mas Bimo. Terus terang, aku begitu keteteran. Jangankan mencari tambahan untuk biaya sehari- hari, sekadar berbenah untuk diri sendiri saja, tidak sempat.
"Kamu harus tampil cantik di hadapan suamimu, Ra," tutur Sindy suatu ketika.
Ia adalah sahabat karibku. Kami sering curhat kalau ada waktu luang. Aku dan dia memang sudah dekat sejak SMA dulu. Dari Sindylah aku mendapat ketenangan. Dialah wanita yang selalu membesarkan hatiku, memberikan dukungan dan semangat ketika aku merasa berada di titik terendah.
Sindy juga dekat dengan anak- anak. Ia sering datang ke rumah dan bermain dengan mereka. Dia sudah menganggap anak-anak seperti anaknya sendiri. Anak-anak pun merasa nyaman sama Sindy, terutama karena ia selalu membawa oleh-oleh kesukaan mereka. Karena itu, aku sangat percaya padanya. Bahkan, hampir semua unek-unekku ia tampung.
Ia sendiri tidak memiliki anak. Suaminya meninggal saat bertugas menjaga perbatasan. Entah mengapa sampai saat ini ia lebih suka melajang. Padahal kalau mau, banyak lelaki yang tertarik padanya.
Tak hanya cantik dan sukses dalam karir, Sindy juga sangat ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Namun, rupanya ia lebih memilih setia pada almarhum suaminya. Aku sendiri sampai kagum dengan kesetiaannya itu.
Seperti malam ini, aku larut dalam curhatan dengannya. Aku sengaja menumpahkan segala rasaku pada wanita baik itu. Aku memang sudah sangat lelah, lahir dan batin. Satu-satunya orang yang mampu menahami hanya dia. Karena itu, kucurahkan semua padanya, tentang kejanggalan sikap Mas Bimo, kecurigaanku tentang kemungkinan adanya orang ke tiga, juga tak lupa kuminta petuah dan saran bijak dari sahabatku itu.
Kadang, aku merasa tidak enak juga karena sering mengganggunya, terlebih malam-malam begini. Ia tentu merasa lelah karena seharian tadi bekerja. Namun, Sindy meyakinkanku, bahwa ia baik-baik saja dan tidak merasa terganggu. Ia tidak keberatan dengan semua keluhanku.
Karena itu, aku merasa nyaman ketika berbincang dengannya. Mendengar suara dan kesediaannya menerima telepon saja, sudah membuatku bahagia. Apalagi setelah mendengar wejangan-wejangan darinya. Ya, kebaikan Sindy memang bagai candu bagiku.
"Kamu harus sabar, Ra! Mungkin saat ini Mas Bimo memang sedang betul-betul berjuang untuk menata masa depan. Kamu harus percaya padanya! Lelaki itu, kalau terlalu dicurigai, ia akan merasa tidak nyaman. Pada akhirnya, ia akan semakin menjauh.
Yang penting, sekarang kamu fokus sama dirimu sendiri dan anak- anak. Kamu jangan terlihat loyo dan awut-awutan gitu, nanti Mas Bimo jadi semakin ilfil! Percantik dirimu, Ra!"
Aku bukannya tidak paham dengan semua ucapan Sindy. Hanya saja, dengan kondisi seperti ini, semua saran darinya seolah jauh dari jangkauan.
"Aku mengerti, Sin. Namun, kamu tahu sendiri, kan, bagaimana kondisiku? Aku betul-betul tidak punya waktu untuk itu. Tenagaku sudah...."
"Sayang ... sudah apa, belum?" Terdengar sayup-sayup suara dari kejauhan.
_"Deg!"_ Tiba-tiba, serasa jantung ini ada yang menyentak. Aku tidak meneruskan kalimat.
_"Lelaki? Selarut ini, ada lelaki di rumah Sindy?"_ tanyaku dalam hati.
Ah, mungkin itu kakak atau kerabat yang lainnya. Aku bermaksud mengakhiri pembicaraan. Tak enak rasanya memaksakan ego dengan meminta Sindy mendengar unek-unekku. Aku khawatir ia tadi merasa terpaksa.
"Ra, maaf, ya! Ini aku sedang ditunggu. Kututup dulu, ya, tar kita sambung lagi." Suara Sindy terdengar sedikit gugup di seberang sana.
"Sayang ... cepat dikit, dong, dah kangen berat, nih ...."
Suara itu semakin terdengar jelas. Mungkin lelaki itu sudah tidak sabar lalu beranjak mendekati Sindy.
Aku terhenyak. Suara itu sangat kukenal. Hampir dua belas tahun hidup dengannya, tidak mungkin aku salah dengar, suara Mas Bimo.
Aku limbung, terdiam beberapa saat, tak tahu harus bagaimana. Pikiranku buntu, hatiku beku.
Tamat
·
(Cerita ini
hanya fiksi belaka)
0 comments