MGtbNGJ8Mqt9NaZ4MqN9MGRbMDcsynIkynwbzD1c

Cerpen Azzahra Sabita: Bisikan di Pinggir Pantai

BLANTERLANDINGv101
5821456843096345225

Cerpen Azzahra Sabita: Bisikan di Pinggir Pantai

Bisikan di Pinggir Pantai

Oleh: Azzahra Sabita


Duka yang dirasakannya terus menusuk-nusuk batinnya. Kenangan yang menari-nari di pikirannya menghantuinya tiap malam. Rasa bersalah menumpuk menjadi beban dalam hidupnya, andai saja dirinya mencegahnya pergi. Di hari itu, kelabu mulai menutup hidupnya.

            Seperti di malam ini, ketika rintik hujan dan genangan air mulai berubah mulai surut dan pasir di tangannya mulai membosankan, dirinya tetap terpaku dan menetap di masa lalu. Berharap sosok itu, muncul turun dari sampan. Seperti biasa..

***


11 Januari 2021

Pantai Takisung, Kalimantan Selatan

            Pohon kelapa apa yang berada di pinggir pantai meliuk-liukan daunnya, menari-nari diiringi oleh bisikan angin. Ombak tepi pantai memecah, melelehkan suasana siang. Beberapa sampan terlihat dari kejauhan. Di atasnya siluet beberapa orang tengah menebar pukat, ada juga yang duduk diam sambil menunggu ikan mendekat .

            Di bawah pohon kelapa, seorang gadis dengan rambut yang di kuncir kuda tengah sibuk menggerakkan jari-jarinya di atas pasir, membentuk suatu gambar yang membuat beberapa pasang mata akan berhenti dan menoleh dua kali untuk melihat  hasil dari kreativitas tangannya.

            Arai, nama dari seorang gadis yang binar matanya secerah bintang di langit. umurnya baru 7 tahun, hanya saja dia berbeda dari anak-anak seusianya. Hanya sunyi dan sepi yang dapat ia dengar. sejak lahir ia belum pernah mendengar apa itu yang disebut suara. Hal itu, menjadi salah satu  alasan kenapa dirinya tidak pernah duduk di bangku sekolah.

             Kegiatannya, hampir sama setiap harinya. Di mana dirinya akan duduk di bawah pohon kelapa di dekat tepi pantai sembari membuat jari-jarinya nya menari di atas pasir. Saat cahaya matahari redup, ketika beberapa sampan  kembali mendekat menghampiri tepi pantai dengan beban ikan kan di atasnya  adalah waktu yang paling membahagiakan bagi Arai.

            Perempuan dengan keriput juga  punggung yang sedikit membungkuk adalah sosok yang dinanti oleh Arai.  Nenek atau yang kerap ia panggil Nini tengah tersenyum dari atas sampannya. Beberapa perempuan juga laki-laki berada di atas sampan terlihat tersenyum melihat gadis kecil itu menanti Nininya.

            Begitu sampan, telah berhenti di tepi pantai. Arai segera berlari mendekat. Tangannya terulur ikut membantu membawakan ikan yang ukurannya lebih kecil, hasil menebar pukat dari pagi.

            Senja mulai berganti dengan gelapnya malam, ketika Arai dan Nininya sampai di gubuk tua tempat mereka tinggal. Hanya,  mereka berdua yang bertahan hidup di rumah kecil dengan satu buah lampu minyak di ruang tamu. Setelah membuatnya menyala, Arai dengan tanggap memberikannya kepada Nini yang sejak tadi terbatuk.

            Dengan suasana gelap yang mendominasi, walaupun sudah dibantu oleh lampu minyak di atas meja, tidak mampu mengalahkan gelapnya malam. Arai berharap hujan tidak turun, ia tidak tega melihat Nininya kewalahan menghadapi air hujan yang menetes dari atap rumah mereka yang berlubang dimana-mana.

            Pikiran Arai melayang, di kejadian kemarin siang. Dimana ia melihat beberapa orang yang seumuran dengannya memakai seragam sekolah. Hati kecilnya berharap sekali saja ia dapat merasakan bagaimana dirinya menjalani kehidupan seperti anak-anak lainnya. Arai penasaran seperti apa sekolah, seperti apa rasanya..

            Pandangan Arai kembali menghadap sang nini yang kini tengah menghidangkan nasi. Hanya nasi, jika mereka hari ini makan daging atau ikan maka dapat dipastikan jika mereka akan kelaparan karena tidak bisa beli beras lagi. Karena, hanya Nini yang menjadi tulang punggung keluarga.

            “Nini….” Suara lirih dari Arai memecah keheningan di ruangan gelap itu.  Mendengar panggilan dari cucunya itu, membuat perempuan dengan raut lelah itu menatapnya.

            “Arai mau.sekolah.”

            Mendengar kalimat itu, perempuan yang sudah melalui banyak hal di hidupnya itu menghela napas. Tidak sekali atau dua kali Arai meminta hal yang sudah pasti ia tolak. Bukan karena dirinya ingin cucunya menjadi buta akan ilmu. Tapi mereka hanya orang pinggiran yang mengais rezeki dari laut. Itupun jika cuaca sedang cerah. Bahkan hasil menjual tangkapan hanya dapat mencegah mereka dari rasa lapar. Selain itu,  kondisi Arai sendiri tidak memungkinkan. Dengan pandangan sedih, Nini menggelengkan kepala ke arah Arai, isyarat yang menandakan dirinya tidak menyetujui keinginan cucu satu-satunya itu.

            Pandangan Arai kembali menunduk. Matanya memanas, menandakan dirinya tengah menahan tangisnya. Melihat air mata yang menyebar di pelupuk mata cucunya. Nini hanya dapat memeluk sambil mengelus kepala Arai.

            Langit semakin menghitam, angin berbisik lewat sela-sela rumah. Menidurkan mereka yang lelah dari susahnya kehidupan.

***

12 Januari 2021

            Sejak pembicaraan di malam itu, Arai merasakan hal aneh pada Nini. Nini mulai berangkat pergi ke laut sejak dini hari. Sementara itu, Arai seperti biasa menunggu dibawah pohon kelapa. Membuat sebuat sketsa di atas pasir.

            Angin kembali berbisik, ketika siluet beberapa sampan tiba-tiba mendekat. Arai tertawa bahagia begitu mengetahui Nini tiba lebih awal. Sayangnya, raut wajah Nini tidak sebahagia dirinya. Arai hanya mampu memandang nininya yang kini tengah berbicara dengan seorang nelayan. Raut wajah keduanya keruh.

            Esoknya, Nininya berbicara lewat gerakan tangan. Hal yang sering mereka lakukan untuk berkomunikasi. Sebelum Nini melangkah keluar. Sayangnya, firasat Arai hari itu sedikit buruk. Tapi, Nininya terlanjur menjauh dari gubuk dan pergi ke arah laut. Hari itu, cukup berbeda karena Nini menyuruh Arai untuk tetap diam di rumah.

            Jangan’ ‘keluar’ ‘rumah’

            Isyarat yang dilemparkan nininya begitu jelas. Hari itu, Arai memilih masuk ke ruangan sempit gelap yang selalu Nininya pakai untuk tidur. Sesuatu menarik perhatiannya, selembar kertas tipis  yang berada di atas ranjang kayu tua.

            Mata Arai membelalak, hati nya ditumbuhi benih-benih kebahagiaan. Di brosur lusuh itu, terdapat gambar alat bantu pendengaran. Sesuatu yang selalu diinginkan oleh Arai sejak Pak RT datang menawarkan alat ini pada dirinya juga Nini. Sayangnya, pada waktu itu Nini menolak.

            Dengan penuh kebahagiaan, Arai menunggu di depan rumah. Duduk sambil melakukan hobinya, membuat jari-jemarinya menari di atas tanah. Angin kembali berbisik, tapi bisikannya sedikit keras. Sebelum berubah menjadi amukan. Hujan tiba-tiba turun dengan deras, seolah melampiaskan kesalnya pada tanah yang dipijak oleh Arai.

            Menakutkan.

            Kaki kecil gadis berkuncir kuda itu gemetar, Arai segera masuk ke rumah. Hatinya berdenyut, fikirannya mengambang tentang keadaan Nininya. Air mulai merambat masuk, menyebar di dalam rumah, dan semakin naik. Dengan tergesa-gesa Arai naik ke atas meja, tapi itu belum cukup. Pikiran Arai terpecah belah, tubuhnya mulai gemetar ketakutan. Tangisnya mulai pecah.

            Hingga tiba-tiba, seseorang menerobos masuk. Itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Sosok ibu yang sering membantu dirinya dan Nini. Ibu itu, menerobos air yang masih naik dan segera membawa Arai keluar.

            Hati Arai berdenyut begitu mengingat sang Nini. Di arahkan pandangan nya ke beberapa orang yang tengah berlari menerjang air yang semakin meluap. Matanya mencari sosok Nininya. Tapi, di matanya hanya ada orang-orang yang tidak ia kenal.

            “Nini.Nini”

            Kata itu meluncur dari bibirnya, namun tidak ada yang bisa Arai dengar. Arai hanya ingin sosok perempuan tua yang biasanya membuatnya tenang. Bukan, kerumunan orang-orang yang kini berdiri di dataran tinggi sembari menangis meratapi rumah mereka yang tenggelam oleh air.

            Tapi, matanya tidak pernah menemukan sosok Nininya. Dimanapun. Bahkan ketika kejadian ini berlalu, ketika orang-orang mulai kembali turun, atau ketika Nini mendapat alat bantu dengar dari pemerintah. Sosok perempuan yang selalu Arai tunggu di bawah pohon kelapa dengan ditemani bisikan angin dan tangannya yang kembali menari di atas pasir. Perempuan yang kerap dipanggil Nini itu tidak pernah kembali.

BLANTERLANDINGv101

Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang