Ayo, Cintai Merah Putih!
oleh Niswahikmah
dimuat di Radar Sidoarjo
Pria-pria bertopi veteran biasanya tersebar di jalan-jalan pusat
kota ketika 17 Agustus tiba. Hari bersejarah itu selalu indah terkenang bagi
kepala-kepala yang tak lagi muda. Mengingat perjalanan memerangi penjajah yang
tak mudah seketika menumbuhkan senyum bersahaja. Tetapi,
masihkah pemandangan itu tampak di depan kita di tahun ini?
Tujuh puluh tahun telah berlalu, dan pria berstempel veteran mulai
menyusut. Tentunya mereka telah kandas termakan usia. Sudah bukan waktunya
untuk tertawa sambil mengenang apa yang terjadi saat Belanda datang ke
Indonesia. Sudah tidak sempat menikmati secangkir kopi seraya mengenang bambu
runcing yang tak mampu melawan senapan penjajah.
Jika sudah begini, kepada siapakah
mereka akan menyerahkan sejarah? Dibebankan pada siapa tanggung jawab mengayomi
negeri dan meneruskan kecintaan? Jawabannya tentu saja pada generasi muda.
Pemuda-pemuda yang lebih bertenaga untuk mengais kembali sisa sejarah sebelum
bergerak maju membuat perubahan. Remaja-remaja yang lebih kuat untuk hormat
pada sang saka dan melantunkan ‘Indonesia Raya’.
Namun, sudahkah ada kesadaran dari
para remaja akan tugas yang harus diembannya? Sudahkah remaja punya
ketertarikan untuk mencintai dan membela negaranya? Sementara, faktanya, banyak
pemuda yang diharapkan dapat membangun negara, justru terjerumus pada akar
budaya lain. Kebanyakan tidak lagi menyukai budaya asli Indonesia. Perhatian
mereka sepenuhnya tersedot pada tren luar negeri. Alih-alih menyanyikan lagu
Indonesia Raya, mereka lebih suka lompat-lompat sambil meneriakkan, “Put your
hands up!”.
Ada banyak penyebab dari terjadinya
fenomena tersebut. Pertama, canggihnya teknologi. Jaringan akses internet yang
semakin luas serta media sosial terlampau bebas menyebabkan remaja Indonesia
mudah mencari informasi dari luar. Sayangnya, informasi yang mereka dapat
justru menjerumuskan. Sebagian menjadi lebih condong pada budaya luar yang
dianggap lebih modern. Sementara, budaya dari Indonesia hanyalah anutan orang
tua yang sudah kuno.
Kedua, kurangnya penanaman rasa
cinta tanah air. Remaja tidak mendapatkan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
secara detail. Beberapa bahkan tidak suka jika pelajaran itu tiba, dan yang
dibahas adalah hukum negaranya sendiri. Selain itu, keluarga juga tidak
menekankan perlunya rasa cinta pada Indonesia. Padahal, negara ini telah
menampung mereka selama masa hidupnya.
Ketiga, rendahnya kesadaran untuk
menjadi penerus bangsa. Kebanyakan remaja selalu berpatokan pada kata ‘politik
itu kejam’. Sehingga, mereka justru tidak ingin terjun ke dalamnya. Padahal,
politik dapat menjadi salah satu jalan untuk memperbaiki nasib bangsa. Mereka
hanya bisa berkoar ketika budaya negara ini dicuri, tanpa ada usaha untuk melestarikannya.
Bisa dibayangkan, apabila kondisi
seperti itu terus berlangsung, bagaimana nasib Indonesia ke depannya? Mungkin,
budaya Indonesia akan menangis di rumahnya sendiri. Lantas, bagaimana cara
menanggulanginya? Bagaimana agar pemuda Indonesia punya semangat untuk berjuang
meneruskan pembangunan?
Partisipasi dari pemerintah serta
lembaga pendidikan sangat diperlukan untuk merealisasikan semangat patriotisme
itu. Pemerintah yang berhak mengeluarkan putusan, diharap turut berkontribusi
aktif meningkatkan kadar cinta remaja pada Indonesia. Hal ini dapat
dikembangkan melalui lembaga pendidikan yang menaungi remaja.
Salah satu cara yang sudah
berkembang saat ini adalah diwajibkannya menyanyikan lagu nasional dan daerah
di setiap sekolah. Kegiatan ini baru diresmikan berdasarkan keputusan
Menbuddikdasmen, Anies Baswedan. Diharapkan, kegiatan yang dilangsungkan
sebelum dan sesudah proses pembelajaran ini dapat memicu rasa cinta remaja pada
merah-putih.
Selain itu, sudah ada peraturan
bahwa sekolah harus menggunakan cirri khas baju batik untuk hari tertentu.
Dengan dikenalkannya budaya pakaian asli Indonesia, remaja akan tertarik untuk
mempelajari cara membuatnya. Lebih-lebih, mereka akan ikut serta
melestarikannya suatu hari nanti.
Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah ini
menuai respons positif dari berbagai pihak. Lembaga pendidikan berlomba
melaksanakannya, bahkan ingin memberikan peran terbesar. Remaja pun mengaku
dapat mengambil manfaat dari kegiatan tersebut. Mereka dapat mengingat
lagu-lagu nasional dan daerah yang telah dilupakan. Sementara, batik dapat
membuat imajinasi mereka terbuka untuk mengembangkan desain-desain bertema
akulturasi.
Tentu saja kita berharap bahwa usaha
menasionalismekan remaja tidak berhenti sampai di sini. Masih begitu banyak
cara untuk menyelamatkan mereka dari jurang kemerosotan rasa cinta tanah air.
Kontribusinya pun tidak hanya dari pemerintah saja. Melainkan bisa juga dari
lingkungan masyarakat dan keluarga. Sehingga, Indonesia tidak hanya tampil
menawan ketika 17 Agustus. Tapi, seluruh warga negara tetap dengan sukarela
hormat pada sang saka sambil tersenyum. Sesekali dada berdentum senang dan
bangga bertanah air di negeri ini.
Remaja Indonesia bisa mencintai
negaranya. Hanya saja, perlu lebih banyak dorongan motivasi serta tuntunan dari
orang yang lebih tua. Perlu lebih banyak visualisasi bahwa membela bangsa
bukanlah suatu yang menakutkan. Melestarikan budaya bukanlah sesuatu yang kuno
karena berkaitan dengan sejarah. Semoga garuda muda dapat terbang meraih sayap-sayap
gemilangnya, mempertahankan citranya di depan spesies-spesies lain.
0 comments